Prof Dr Siti Musdah Mulia, MA: Toleransi Harga Mati Di Indonesia
Meski sudah menjadi warisan dan kekayaan budaya luhur nenek moyang Indonesia sejak dahulu kala, budaya toleransi di Indonesia sekarang ini, realitasnya justru semakin luntur atau mengalami kemunduran. Tidak hanya bicara toleransi hal agama, suku dan golongan tetapi juga dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari seperti dalam bertetangga lingkungannya. Kemunduran dalam budaya toleransi menjadi pekerjaan rumah besar bagi pemerintah dan juga masyarkat Indonesia. Demikian diungkapkan Prof Dr Siti Musdah Mulia menanggapi kondisi Indonesia belakangan ini marak intoleransi.
Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah kembali menegaskan bahwa toleransi harga mati untuk Indonesia. “Bagi saya dan semua masyarkat yang cinta Indonesia maka toleransi adalah harga mati,” tegas ketua Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP).
Lebih jauh Musdah mengajak dalam menumbuhkan sikap toleransi penting melihat kembali sejarah berdiri bangsa Indonesia yang sejak awal sudah beragam suku, budaya, adat dan bahasa yang kemudian menjadi bangsa. Menurutnya, kita semua harus mengerti dan memahami sejarah bangsa Indonesia dengan benar. Dengan demikian, kata Professor Musdah maka sikap toleransi akan bertumbuh dan berkembang terus di NKRI.
“Kita di Indonesia berbeda sekali dengan sejarah bangsa lain yang cenderung homogen, katakan misalnya Arab. Di negara seperti itu kultur toleransi mungkin kurang dikenal karena keseragaman masyarkatnya itu. Karena itu, sebagai masyarakat yang berasal dari beragam dari latar belakang suku, budaya dan agama maka toleransi harga mati buat kita,” tukas aktivis pegiat HAM ini.
Hilangnya Toleransi
Menarik, Prof Musdah dalam penelitiannya, mengungkapkan setidaknya ada tiga hal terkait maju mundurnya toleransi dalam suatu negara. Pertama, sangat terkait dengan kultur. Menurutnya kultur dalam hal ini bicara kultur pendidikan keluarga yang kurang menanamkan toleransi sejak pendidikan dini.
“Mengajarkana toleransi itu harus sejak kecil oleh keluarga karena akan sulit jika diajarkan setelah anak besar. Toleransi itu kan bisa menyangkut hal kecil misalnya menghargai makanan, menghargai sesama dan lain sebagainya,” paparnya. “Bagi saya basis pengajarana sejak kecil itu satu keharusan.”
Prof Musdah mencontohkan betapa pentingnya pendidikan dari keluarga dan dari sekolah ditemuinya saat berkunjung ke Thailand. “Orang tua di sana ternyata sudah mengajarkan kepada anak sejak dini sefesifik. Misalnya saat makan pisang, orang tua menjelaskan bahwa ada petani yang bekerja keras menanam hingga buahnya bisa dimakan karena itu diminta anaknya menghargai dengan memakan habis dan membuang kulitnya dengan benar,” Musdah mencontohkan pengenalan budaya toleransi sejak dini. Sebagai mahluk sosial memang harus diajar sejak dini. Makanya pendidikan dini di luar negeri tidak seperti Indonesia yang langsung mengajarkan baca tulis dan hitung.
Yang kedua bicara struktur. Terkait dengan struktur ini menurut Musda adalah mutlak urusan negara. Dalam satu negara tidak boleh berkembang intoleransi dalam masyarakatnya. Seperti sekrang jika ada ormas intoleransi yang menyerang budaya, agama dan lainnya maka negara dalam hal ini pemerintah harus bertindak tegas. Pemerintah harus bertindak imparsial yakni bersikapa netral.
“Ya saya kir kalau salah harus ditindak tegas siapapun dia dan ormas mana. Negara sebagai penjaga kerukunanan memang harus bertindak tegas dengan atas nama hukum yang berlaku,” ungkapnya mengacu kepada teori negara kesejahteraan (welfare state) JM Keynes.
Sedangkan yang ketiga, interpretasi. Interpretasi agama misalnya ini menjadi tugas-tugas pelaku agama dan organisasi-organisasi terkait dalam memberikan interpretasi yang membuka ruang-ruang toleransi. Dengan demikian sikap intoleren bisa ditekan.
Guru Besar yang juga dosen di Universitas Pramadina ini menekankan agar tidak terjebak lagi dengan konsep yang selalu digulirkan yakni mayoritas dan minoritas. Menurutnya semua punya kedudukan dan kewajiban yang sama dalam bernegara. Dan itu sudah diatur para founding fathers sejak berdirinya Indonesia.
“Apakah karena masyarakat mayoritas terus harus dapat privilage? Oh nggak bisa begitu. Ingat bahasa jawa itu penurutnya mayoritas tetapi kenapa dijadikan bahasa Indonesa sebagai bahasa persatuan? Itu kan sebagai contoh bahwa tidak selalu mayoritas yang menentukan. Makanya minoritas jangan rendah diri dan demikian juga mayoritas jangan jadi arogan. Mari kita sejajar dan kewjiban kita juga sama,” tukasnya.
Karena itu, masih menurut Prof Musdah bahwa untuk mempertahankan sikap tolerensi masyrakat maka kultur melalui pendidikan harus dibuka seluas-luasnya dalam keluarga. Juga pendidikan masayarakat informal, misalnya melalui media cetak dan media eletronik. Pada prinsipnya bagaimana kita memperjuangkan toleransi itu tidak berkurang melainkan harus bertambah, tumbuh dan berkembang dalam kehidupan kita bersama, apakah itu dalam keluarga dan bermasyarakat. “Solusinya saya kira ya itu tadi mulai dari lingkup keluarga kecil terus lingkup masyarakat untuk tetap memperjuangkan toleransi itu.”
Leave a Reply