ALLAH HADIR DALAM KEUTUHAN
“Berkatalah Musa kepada-Nya: “Jika Engkau sendiri tidak membimbing kami, janganlah suruh kami berangkat dari sini. Dari manakah gerangan akan diketahui, bahwa aku telah mendapat kasih karunia di hadapan-Mu, yakni aku dengan umat-Mu ini? Bukankah karena Engkau berjalan bersama-sama dengan kami, sehingga kami, aku dengan umat-Mu ini, dibedakan dari segala bangsa yang ada di muka bumi ini?” (Keluaran 33:15-16)
TUHAN adalah pribadi yang mahahadir. Dia adalah Jehovah Shammah yang bermakna hadir dan memenuhi segala tempat pada saat yang bersamaan. Pertanyaan sekaligus pernyataan menggelitik dari penulis kitab Pentatuk, Nabi Musa, Jika Engkau tidak membimbing kami? Apakah itu suatu pertanyaan simbolis? Apakah Nabi Besar seperti Musa juga alfa dalam memahami Tuhan maha hadir dan pasti menyertai?
Ada dua kata kerja penting dari ayat 15. Kedua kata kerja ini akan memandu kita membangun pemahaman study teks dan konteks yang memadai. Pemahaman seperti ini penting untuk mengambil sudut padang teologis yang seimbang sehingga kita tidak terjebak pada pemahaman yang alegoris yang keliru.
Kata kerja pertama adalah הלכימ (holakim-Qal) dari akar kataהלךּ (yalak) yang berarti: to go, to walk,. STRONG mengartikan to carry. Kata berangkat itu lebih bermakna berpindah tempat. Ini sesuai dengan kontek dimana Israel sdang dalam perjalanan eksodus dari Mesir menuju Tanah Perjanjian. Bergerak dari suatu tempat ke tempat yang baru memang adalah ciri khas musafir yang hidup di antara padang pasir yang membentang sangat luas. Saat itu, Israel digambarkan sebagai kawanan musafir super ramai (Hampir satu juga manusia) yang melintasi padang gurun.
Kata kerja kedua adalah תעלנו (taalenuw-Hiph) dari akar kata: עלה (`alah) yang bermakna: carry us. Menurut BDB kata ini bermakna: to bring up, to take away. Sementara STRONG mengartikannya sebagai: to ascend. Sepertinya Musa sedang menjelaskan rute perlajanan yang sukar di antara gunung-gunung batu dan padang pasir. Ini memang perjalanan yang sangat berat mengingat rombongan ini sangat besar lengkap dengan semua anggota keluarga.
Kedua kata kerja tersebut di atas merupakan rangkaian kata yang saling berhubungan. Kata GO atau to walk adalah tindakan aktif dimana subjek, yaitu orang-orang Israel, diminta untuk melakukannya dengan segenap kekuatan: to ascend (mendaki). Hal ini menjadi sangat berat dan hamper mustahil karena medan berat. Dapat dibayangkan bagaimana sulitnya membawa orang-orang tua dan anak-anak melintasi dan atau mendaki pengunungan Sinai yang terjal dan ganas.
Selanjutnya, studi kita akan sampai pada kata kunci. Kata itu adalah membimbing. Berasal dari kata: פָּבֶיךָ (paaneika) yang bermakna: thy presence (interlinear). Kata tersebut berasal dari akar kata paniym, yang berarti: the face, presence, person. Kata paaneika memiliki makna yang dalam menurut akar paneh yaitu kehadiran yang riil seperti penampakan wajahnya kepada Musa di atas Gunung Sinai. Inilah yang terjadi dalam penglihatan Musa ketika dia ada di atas Gunung Sinai menerima dua loh batu berisi sepuluh Hukum Taurat. Allah berhadapan muka dengan muka dengan TUHAN.
Kehadiran ALLAH (thy presence) disini tidak berhenti pada pengertian penyertaan secara rohani tetapi juga secara jasmaniah di mana Allah hadir (secara kasat mata) dan menampakkan wajahNya. Musa mengatakan agar Dia tak menyuruh mereka beranjak jika penyertaan ini tidak ada. Artinya tanpa kehadiran Allah secara rohani dan “jasmani”, Musa dan umatnya janganlah di suruh pergi.
Lantas apakah yang kita dapat mengerti? Kita, termasuk juga para teolog, sering terjebak dalam romantisme rohani yang mengatakan Allah hadir, namun sesungguhnya tak dapat menyertakan bukti apapun secara jasmaniah. Itu adalah penghiburan spiritual yang terkesan semu. Kita seringkali mengkhotbahkan Allah hadir dalam kuasaNya, karena kita mengerti Dia adalah Roh. Kita menghibur diri dalam khotbah-khotbah penuh urapan, namun tetap terhempas pada fakta tidak dapat menjelaskan kehadiranNya secara factual. Inilah sebenarnya yang diminta oleh Musa.
Musa bukanlah nabi picik. Dialah nabi terbesar seapanjang masa. Dialah yang berhadapan muka langsung dengan Allah. Jadi kehadiran Allah itu bukan sebata teopani spiritual. Namun kehadiran secata riil. Musa mengerti bahwa Allah tak terbatas sebagai Allah yang spiritual, Dia juga adalah Pribadi yang riil. Dia nyata dan Dia hadir. Dia hadir seutuhnya sebagai Allah yang berdaulat dan memiliki eksistensi. Kehadiran dan penyertaan seperti itulah yang diharapkan oleh Musa.
Sebagai umat Allah, kita telah ditebus oleh Darah Yesus dan telah menjadi ahli waris-Nya. Yesus Kristus hadir di sini dan nyata sepanjang waktu. Jadi, mengertilah bahwa dalam segala aktifitas kehidupan kita, DIA hadir secara utuh (menyertai kita secara jasmaniah dan rohaniah). Dalam melakukan atau mengerjakan aktifitas kehidupan dalam dinamika hidup yang komplek, saat kita diperhadapkan dengan beban berat seperti mendaki gunung yang tinggi. Saat gunung-gunung kehidupan itu kadang-kadang begitu tinggi sehingga untuk melihatnya saja kita sudah gemetar apalagi untuk mendakinya. Mengertilah bahwa Allah menyertai kita dan memanggil kita untuk mendakinya serta menaklukkannya.
Jangan terjebak pada retorika logika yang sempit dengan menghitung-hitung kemampuan kita. Kita hanya perlu dengan segala daya dan upaya mengerjakannya. Memang ada saat di mana kita sepertinya akan berhenti. Ada waktu seolah-olah kita tak dapat lagi melanjutkan pendakian hidup di gunung yang terjal. Namun, bila Dia hadir secara utuh, Dialah yang akan mengangkat sehingga kita sampai di puncak kehidupan. Kita pasti sampai ke Tanah Perjanjian.
Pdt. Joshua Mangiring Sinaga, S.Th., M.Th., D.Th©
JBBC Pastor
Leave a Reply