Drama Musikal “SATU LANGIT” Tumbuhkan Nasionalisme
Di tengah-tengah kondisi bangsa yang semakin luntur nasionalisme, kolobrasi penulis sekaligus sutradara Yoly Hutapea dan music director Martogi Sitohang, sukses mempersembahkan drama musikal yang mengambil latar kisah pejuang Batak dengan judul “SATU LANGIT.” Pertunjukan ini digelar dua sesi, pertama sore dan sesi berikutnya malam, bertempat di Balai Sarbini Sabtu 26/11 lalu.
Pertunjukan seni peran dengan musik live ini, mampu membuat penonton bertahan tiga jam tidak beranjak dari tempat duduk. Menariknya, meski membawakan kisah perjuangan melawan penjajah di tanah Batak dan kental unsur Bataknya, penonton yang hadir kebanyakan bukan orang Batak. Banyak juga dari kalangan tionghoa.
Pergelaran dibuka dengan narasi yang menceritakan kisah perjuangan lima puak Batak, Toba, Simalungun, Karo, Angkola dan Pakpak. Adegan pun dibuka dengan, setting pasar tradisionil yang pada masa pendudukan Jepang. Cerita pun berlanjut seputar kehidupan Rouli, seorang gadis yang ditinggalkan Ayahanya berjuang sejak bayi. Rouli beranjak remaja akhirnya memutuskan bergabung dengan gerilya menjadi palang merah dengan musik Lagu Butet yang dibawakan Henny Purwonegoro.
Sampai disitu jelas inspirasi Yoly Hutapea menulis lakon dengan mengambil inspirasi dari Lagu Perjuangan: Butet yang sangat terkenal itu. Harus diakui kemampuan sutradara yang membuat sengaja lompat-lompat alur cerita dengan kehadiran lakon peri yang bisa menghentikan dan membalikkan waktu, hingga tahun 2016 dimana Rouli sudah nenek dengan penuh nostalgia di hadapan cucunya, tergolong piawai. Adegan susah ditebak dan membuat penonton tetap mengikuti sampai akhir.
Kemampuan Martogi Sitohang, yang dikenal sebagai seorang musisi Batak dan piawai suling, memilih setiap lagu sepanjang pergelaran berlangsung patut diacungin jempol. Penempatan musik slow berganti ngebit, sangat serasi dengan koreografi pertunjukan tarian di panggung. “Hanya sebulan persiapan, dan saya sendiri memimilih lagu yang ditampilkan,” ujarnya usai acara.
Menarik ada satu adegan, di tengah pegelaran, yang menampilkan enam pastor atau romo dari Keuskupan Agung Jakarta yang mampu mengocok perut penonton. Dengan gaya bicara sebagai pejuang mereka melawak sarat dengan satire terhadap kondisi politik sekarang.
Sebelumnya, pada pembukaan penasehat Saor Siagian dan Sukur Nababan tampil memberikan sambutan. Menurut Saor Siagian pergelaran ini sangat penting untuk merecharge lagi nasionalisme kita semua di tengah kegamangan anak bangsa. “Saya kira pegelaran ini penting apalagi kisahnya pejuang bangsa yang pasti menggugah kebangsaan kita. Bahwa negara ini diperjuangkan semua orang tidak satu kelompok atau agama tertentu,” tutur Ketua IKA UKI ini.
Anggota DPR RI, Sukur Nababan juga menyatakan dukungannya terhadap pegelaran drama musikalisasi ini. “Saya kira ini penting untuk menggali budaya kita. Harus diberikan dukungan agar pergelaran seperti ini bisa terus berjalan,” tutur Ketua Pemuda PDI Perjuangan ini. Bahkan Sukur sempat menjajal dua kali nyanyi dengan lagu “Sai Anju Ma Au ” dan “Pancasila Rumah Kita”.
Pergelaran ini di dukung profesional, selain penyanyi Henny P juga menampilkan Lisa Aryanto. Penyanyi yang juga putri dari musisi alm. A Rianto ini bahkan tampil berkali-kali dengan membawakan lagu bahasa Batak.
Drama musikal sendiri di produksi I-GN Solution, PT Anugerah Linta Dimensi menampilkan pemain bertalenta seperti Micky Afi (Ompungdoli), Zilly Larasati (Ompungboru), Lina Eren (Ompungboru tua) dan Mere Meriam (Mamak). Yoly Hutapea layak diacungin jempol untuk pergelaran itu. Sayangnya pertunjukan sedikit mengganggu karena sound system yang kurang mendukung. Meski demikian sekali lagi selamat buat Yoly Hutapea yang terus peduli dengan budaya Batak.
Leave a Reply