Walikota Bekasi Menerima Pewarna Indonesia
Era reformasi yang membawa demokrasi yang lebih bebas. Era kebebasan ini tentu membuat kebablasan. Orang semau perut memaksakan kehendak. Maka disinilah peranan pemimpin negarawan, dalam hal ini pemerintah yang mengayomi seluruh lapisan masyarakat. Menegakkan aturan tentu bukanlah perkara mudah. Disinilah sosok pemimpin diuji, tegas tidaknya menerapkan aturan yang tanpa tebang pilih.
Dan, senantiasa pemimpin berdiri kokoh manakala ada segelintir kelompok yang hendak memaksakan kehendak. Salah satu pemimpin itu adalah Walikota Bekasi Dr Rahmat Effendi, sudah teruji dan amanah. Sikapnya dengan jelas menegakkan aturan, sesuai dengan konstitusi. Dia hadir memperjuangkan hak seluruh hak warga kota Bekasi, termasuk soal keyakinan beragama. Baginya, hak kebebasan beribadah adalah hak asasi yang mesti dijaga, kehadiran pemerintah harus dirasakan warga manakala ada kelompok intoleran.
“Kota ini adalah kota yang heterogen. Karena di sini hidup berbagai suku dan agama,” terang Bang Pepen panggilan akrabnya. Dia senantiasa merangkul seluruh entitas yang ada. Pada, Senin (3/4/17) menerima pengurus Persatuan Wartawan Nasrani Indonesia (Pewarna). Dalam perjumpaan itu, dia menjelaskan, betapa perlunya pemerintah dan masyarakat saling membantu dalam menjaga nilai-nilai keberagaman. “Kita mesti saling bahu-membahu. Saling membatu dan saling menghormati.”
Ditanya keberanian walikota berdiri tegak menghadapi kelompok inteloran, sebagaimana contoh penolakan pembangunan Gereja Katolik Santa Clara dan malah dituduh membela gereja oleh karena tak mencabut Izin Mendirikan Bangunan (IMB). “Saya dituduh membela umat Nasrani, padahal yang saya bela hak konstitusi warga. Saya tak membela agama,” ujarnya. Lagi, dia tak gentar menghadapi orang yang mencoba memaksakan kehendak menghilangkan hak orang lain. Itu sebab, dia menolak mencabut IMB Gereja Santa Clara tersebut.
Sesungguhnya tak hanya Gereja Santa Clara, Gereja Galilea, Gereja Kalamiring dan Gereja Manseng juga dia perjuangkan. “Bagaimana saya bisa saya mencabut izin, padahal sudah dilakukan telah sesuai dengan hukum yang berlaku,” katanya lagi.
Bahkan, menurutnya, ada juga yang meniupkan bahwa gereja Santa Clara merupakan salah satu bentuk Kristenisasi di kota Bekasi. “Disebut gereja tersebut pusat Kristenisasi se-Asia Tenggara. Saya heran dari mana ceritanya itu,” terangnya lagi. Sebagai Walikota, dia berharap Bekasi mesti menjadi kota yang toleran dan damai. Karena itu dia kurang sependapat dengan pemikiran yang menyebut kelompok mayoritas dan minoritas. “Pemikiran mayoritas minoritas mesti dihilangkan.”
Bahkan dirinya tak setuju jika Jawa Barat disebut wilayah intoleran. Tentu, dia akui ada saja riak-riak yang terjadi. Ada beberapa gereja belum menenuhi syarat tetapi sudah membangun gedung ibadah maka terjadi gesekan di lapangan. Tetapi kalau sudah sah secara legal formal, syaratnya sudah dipenuhi, harus dijaga. Sebagaimana bukti nyata tindakannya, kota Bekasi justru prontal melawan kaum yang intoleran. “Saya tak setuju jika disebut wilayah Jawa Barat sebagai wilayah intoleran. Karena itu kami di Bekasi memperjuangkan nilai-nilai kebhinekaan. Jadi pemerintah tak memperjuangkan atau membela agama tertentu. Tetapi, yang saya perjuangkan adalah hak warga negara. Hak asasi warga saya.”
Sebagaimana kita tahu bersama sebagaimana isi undang-undang menyebut setiap warga negara berhak dari setiap warga negara. “Saya dicap kafir, dianggap dekat dengan Nasrani. Padahal yang saya pahami bahwa seluruh warga yang ada di Bekasi sama kedudukannnya di depan hukum. Bahwa kehadiran pemerintah daerah untuk memberi rasa aman bagi seluruh warga. Sekali lagi yang saya bela hak warga negara. Kalau kita sudah bicara hukum positif, bahwa setiap warga negara suku apapun dia, agama apa pun dia harus dibela haknya,” jelasnya lagi.
Tak berhenti di situ, dia juga disebut kafir. “Saya dicaci maki dan disebut kafir. Padahal saya selalu bermunajab pada Allah,” terangnya lagi. “Sebagai muslim saya senantiasa menjalankan sholat lima waktu. Kalau disebut murtad saya diam saja. Sebab saya pahami bahwa bukan orang yang menyebutkan saya murtad itu bisa saya murtab. Saya pahami itu hak Allah. Tetapi, belakangan saya disebut PKI. Kalau sudah disebut komunis, saya tak terima. Apalagi partai tersebut dilarang di Indonesia,” ujar Ketua Partai Golkar Kota Bekasi dan Sekjen DPW Golkar Jawa Barat ini.
Hadir dalam pertemuan itu, Hotman S Pane SH, Ketua Organda Kota Bekasi yang juga tokoh muda Kristen Kota Bekasi yang memfasilitasi audensi Pewarna dengan Walikota. Setelah beraundensi dengan walikota, Pewarna juga berbincang dengan Hotman S Pane. Dia mengatakan, memang tak mudah menjadi pemimpin yang berdiri di atas semua golongan, suku dan agama yang berbeda-beda. Bahkan, banyak sikapnya (walikota) disalah mengerti. “Sebagaimana sudah dikatakan walikota. Seolah-olah dia memberi hak istimewa pada agama tertentu, dan menyingkirkan Muslim. Itu sama sekali tidak benar. Dan dia selalu tegas mengatakan, bahwa dia berdiri di atas semua golongan membela hak warga negara,” ujar Hotman sembari mengatakan, “Saya salut dengan pak walikota karena berdiri di atas semua golongan, suku dan agama yang ada di kota Bekasi. Beliau tak membela satu kelompok tetapi memperjuangkan hak semua entitas yang ada di kota Bekasi,” ujar Ketua Panitia Natal 2017 Umat Kristiani Se Kota Bekasi itu.
Audensi dengan walikota itu diikuti pengurus DPD Pewarna Jawa Barat dan DPP Pewarna yang diketuai Yusuf Mujiono. Yusuf, berterimakasih atas kesediaan walikota menerima Pewarna. Pewarna sendiri amat setuju dengan sikap kepemimpinan Dr Rahmat Effendi, sembari Yusuf sekaligus meminta agar Pewarna Jawa Barat juga diberi ruang untuk berkarya di Kota Bekasi. “Kami berterimakasih pada pak walikota Bekasi yang telah menerima kami pewarta Kristiani, juga berterimakasih pada pak Hotman S Pane yang telah membuka jalan bagi Pewarna bisa beraundensi dengak walikota,” ujar pimpinan majalah Gaharu. (Hojot Marluga)
Leave a Reply