hukumBALI – Peraturan perundang-undangan yang terus berubah dan terkesan belum harmonis antara yang diterbitkan pemerintah pusat dan pemerintah daerah sering menjadi hambatan dalam pelaksanaan pembangunan daerah di era otonomi daerah saat ini. Padahal semangat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat yang bisa dicapai apabila ada kepastian hukum di masyarakat. Hal ini disampaikan Gubernur Bali Made Mangku Pastika saat memberikan keynote speech pada acara pembukaan Rakornas Kepala Biro Hukum dan Sekretaris DPRD se-Indonesia di Hotel Jayakarta, Legian, Badung, Selasa (11/4).

Baru-baru ini, Mahkamah Konstitusi membatalkan Pasal 251 ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (8) UU Nomor 23 Tahun 2014 yang berarti membatalkan kewenangan Mendagri dan Gubernur untuk membatalkan Perda dan Perkada Kabupaten/Kota. “Keputusan ini berpotensi mendorong kembali dan memperkuat munculnya ‘raja-raja kecil’ dalam NKRI. Tugas Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah cenderung akan ‘diabaikan’,” kata Gubernur Pastika.

Ia berharap Kementerian Dalam Negeri segera mengambil sikap dan keputusan terhadap kondisi ini, sehingga memperkuat peran Gubernur di daerah, sebagaimana semangat otonomi daerah untuk mengawal akselerasi terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Menurutnya perlu ada ketegasan dari pemerintah. “Semua bisa diatur dengan norma. Tanpa norma yang jelas akan terjadi kekacauan di daerah,” ujarnya.

Sepakat dengan Pastika, Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Dr. Sumarsono, MPM mengatakan keputusan MK menjadi ‘tsunami’ di tengah upaya pemerintah pusat melakukan akselerasi percepatan pembangunan yang salah satunya melalui langkah debirokratisasi guna memotong peraturan-peraturan di daerah yang menghambat percepatan pembangunan.

Seperti diketahui, Tahun 2016 Menteri Dalam Negeri telah mencabut dan membatalkan 3.143 Perda dan Perkada di seluruh Indonesia yang menghambat birokrasi dan perizinan investasi. Padahal pada tahun-tahun sebelumnya hanya ada dua peraturan yang dibatalkan setiap tahunnya.

Untuk menyikapi hal ini, Sumarsono mengusulkan beberapa hal yang bisa dilakukan. Pertama, pemerintah yang lebih tinggi bisa membuat daftar perda atau perkada bermasalah dan disebarluaskan. “Ini pancingan untuk berubah. Jadi mereka merubah sendiri.” katanya. Kedua, nomor registrasinya diperketat. Menurutnya setiap rancangan perda harus didaftarkan ke provinsi sebagai bagian dari pembinaan dan pengawasan. Terakhir, perlu ada panduan atau pedoman penyusun Perda yang harus diacu oleh pemda setempat. Menurut pria yang sedang menjadi Plt. Gubernur DKI Jakarta ini, hal ini perlu dilakukan agar tak ada raja-raja kecil. Saat ini saja, ia menyampaikan ada 600 perda yang masuk ke dalam kategori diskriminatif, syariah dan intoleransi yang belum dibatalkan. Dengan adanya keputusan MK ini maka hal itu tak bisa dilakukan.(*)

Komentar Facebook
http://warningtime.com/wp-content/uploads/2017/04/hukum.jpghttp://warningtime.com/wp-content/uploads/2017/04/hukum-150x150.jpgadminwarningtimeHomeIndonesiaBALI - Peraturan perundang-undangan yang terus berubah dan terkesan belum harmonis antara yang diterbitkan pemerintah pusat dan pemerintah daerah sering menjadi hambatan dalam pelaksanaan pembangunan daerah di era otonomi daerah saat ini. Padahal semangat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat yang...Mengungkap Kebenaran