Puncak Dies Natalis GMKI Selenggarakan Seminar Nasional dan Anugerahkan Penghargaan Panji Perdamaian
Penutupan Rangkaian Dies Natalis ke-68 GMKI berlangsung di Grha Oikoumene PGI-GMKI, Jakarta Pusat, Jumat (16/3) setelah melaksanakan rangkaian kegiatan di berbagai daerah. Pengurus Pusat GMKI kali ini menyelenggarakan kegiatan diawali dengan Seminar Nasional bertajuk Pancasila, Hubungan Antar Agama, dan Revolusi Industri Ke-4 dan Deklarasi Generasi Millenial Menuju Indonesia Emas 2045 yang bertujuan menjawab tantangan dunia masa depan dengan nilai-nilai konsensus kebangsaan dan umat beragama.
Kegiatan seminar ini dihadiri oleh pembicara kunci Prof. Sri Adiningsih yang merupakan Ketua Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres). Hadir juga beberapa narasumber antara lain Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H (Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia), Baktinendra Prawiro (Ketua Umum Persatuan Intelegensia Kristen Indonesia), Pdt. Albertus Patty (Ketua MPH Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia), dan Dr. Karuniana Dianta Sebayang (Wasekjen GP Ansor).
Dalam orasinya, Ketua Watimpres memaparkan bahwa pemerintah telah mengantisipasi kemajuan teknologi yang ditandai dengan Revolusi Industri ke-4 melalui peningkatan pertumbuhan ekonomi dengan pemanfaatan digital sebagai faktor produksi utama.
“Kemandegan ekonomi 4 sampai 6 tahun yang lalu, saat ini sudah bisa dipacu dengan lebih baik. Untuk mengarusutamakan kekuatan digital bagi produktivitas masyarakat, pemerintah merencanakan elektrifikasi secara maksimal di seluruh pelosok negeri,” katanya.
Prof. Sri Adiningsih menyampaikan, terkait dengan Pancasila dan generasi milenial, menurut data CSIS, 91% generasi millenial tidak menginginkan dasar negara berubah.
“Hal ini menjadi potensi besar untuk terus memacu pembangunan bangsa dengan tetap berlandaskan Pancasila,” katanya.
Prof. Jimly Asshiddiqie menjelaskan pentingnya menjaga nilai-nilai luhur hubungan antar umat beragama yang rukun dan saling mengisi.
“Amerika yang memiliki nilai-nilai demokrasi, kemanusiaan, dan kepastian hukum cukup kuat dikarenakan “friendly spirit”, yang berasal dari Protestan Ethics. Di Indonesia juga dihidupi oleh “brother/sistership spirit” yang tumbuh dari nilai-nilai Pancasila,” ungkapnya.
Beliau menyampaikan dalam menghadapi disrupsi teknologi dan ekonomi di masa datang, perlu untuk mempertahankan komunikasi yang baik dan produktif antar umat beragama yang menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila.
Senada dengan itu, Pdt. Albertus Patty menyampaikan keniscayaan Revolusi Industri ke-4 bisa dijawab dengan memanfaatkan kesempatan ini atau membiarkan disrupsi ini menjadi ancaman.
“Anak muda harus dibekali dengan kemampuan untuk membuat potensi ini menjadi kesempatan yang baik, dan hal ini harus dilakukan sendiri oleh anak muda. Dengan adanya kemajuan teknologi, perkembangan keagamaan juga sangat bergantung pada pemanfaatan alat-alat dijital tersebut, sehingga tidak ada penyalahgunaan teknologi seperti yang terjadi saat ini melakukan hoax, ujaran kebencian di media sosial, dan lainnya,” katanya.
Ketua Umum PIKI, Baktinendra Prawiro menyampaikan pengamalan Pancasila harus bersumber dari dalam hati nurani. Jika dahulu Pancasila diterjemahkan ke dalam 78 butir dan P4, sekarang harusnya sesuai konteks milenial.
“Kontekstualisasi ini harus bisa menjawab tantangan disrupsi teknologi dan pemanfaatannya bagi kemanusiaan,” ungkap Bakti.
Pada akhir kesempatan, Dr Karuniana Dianta Sebayang, ME sebagai perwakilan dari PP Gerakan Pemuda Ansor, menyampaikan sejarah perkembangan Revolusi Industri sampai jilid 4. Beliau juga melampirkan data pengguna internet yang didominasi oleh generasi X dan Y (milenial), namun pada posisi yang hampir sama generasi post-milenial (alpha) juga sudah memahami penggunaan berbagai alat teknologi.
“Ini merupakan potensi masa depan tapi juga bisa menjadi ancaman. Ketergantungan hari ini terhadap hubungan sosial yang nyata juga terhadap spiritualitas agama, jangan sampai berubah menjadi ketergantungan pada dunia maya,” katanya.
Seminar ini dimoderasi oleh Alan Christian Singkali, Sekretaris Umum PP GMKI yang menyampaikan bahwa tanggungjawab masa depan bukan hanya tanggung jawab negara, sekelompok teknokrat, ataupun alim ulama, tapi tanggung jawab kita semua, khususnya oleh para generasi milenial yang tercerahkan.
“Ini yang menjadi alasan mengapa GMKI membahas topik ini. Agar generasi millenial tidak tercemar dengan hoax dan nuansa perpecahan, melainkan berkolaborasi dengan nilai-nilai Pancasila, untuk menghadapi tantangan Revolusi Industri ke-4,” katanya.
Setelah pemberian plakat penghargaan kepada para pembicara, para peserta Seminar melakukan Deklarasi Generasi Milenial Menuju Indonesia Emas 2045 sebagai bentuk komitmen mahasiswa untuk tidak ikut-ikutan melakukan tindakan hoax, mengeluarkan ujaran kebencian, dan tindakan radikal lainnya.
Deklarasi ini berbunyi, “Generasi Millenial Adalah Pelaksana Nilai-Nilai Pancasila, Generasi Millenial Adalah Pelaku Toleransi di Tengah Masyarakat, Generasi Millenial Adalah Pembangun Peradaban Indonesia.”
Usai Seminar Nasional, kegiatan dilanjutkan dengan Malam Penganugerahan Panji Perdamaian Johannes Leimena kepada Buya Ahmad Syafi’i Maarif, Romo Frans Magnis Suseno, dan Pdt. S.A.E Nababan. Acara ditutup Orasi Ilmiah dari Dr. Detji Kory Elianor Rooseveld Nuban, S.H., M.Hum dengan tema ‘Reformasi Hukum Dalam Konteks Hubungan Antar Umat Beragama dan Tantangan Revolusi Industri Ke-4’. Detji merupakan dosen Universitas Nusa Cendana Kupang dan meraih doktor di usia 29 tahun.
Leave a Reply