Seminar Kebangsaan Sikapi Situasi Bangsa Jelang Pemilu 2019
Jakarta WT – Menyikapi situasi bangsa dan dalam rangka kesiapan umat dalam menghadapi agenda bangsa yakni Pemilu Serentak 2019, Transform World Connection Indonesia bersama Yayasan Pondok Sentosa menyelenggarakan Seminar Kebangsaan di Grha Oikumene PGI, Jalan Salemba Raya, Jakarta Pusat, Senin (1/10/2018).
Seminar Kebangsaan ini menampilkan pembicara Pdt Dr Andreas Yewangoe, Dr Jacob Tobing dan Dr Pdt Gomar Gultom dan Dr Iman Santoso. Adapun pesertanya sekitar seratus dari berbagai macam lapisan masyarakat.
Pada paparannya, Dr Jacob Tobing sempat mengkritisi sistem pemilihan terbuka yang berlaku sekarang yang menurutnya sangat keliru, karena menempatkan partai sebagai operator saja. Semua akhirnya bermain untuk mendapatkan dukungan. “Itu sangat membuka ruang untuk berlaku primordial, sektarian, sistem berdasarkan nomor urut sudah benar karena partai yang mengontrol dan membiayai,” kritiknya pada sistem pemilu.
Demikian juga, kata Jacob bahwa pemilihan kepala daerah sekarang kurang tepat dengan alasan karena negara kita adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Di sisi lain, Pdt Dr Andreas Yewangoe menyoroti keberadaan golput yang meski juga hak seharusnya tidak boleh golput. Pengalaman terpilihnya Hitler pada Pemilu 1939 disebabkan karena banyak orang Jerman golput alias tidak memberikan suaranya.
“Hitler menggunakan demokrasi untuk membunuh demokrasi itu sendiri. Hal itu tidak boleh terulang kembali. Saya kira Jokowi sudah mengantisipasi dengan melarang ormas yang bertentangan dengan Pancasila dan NKRI,” paparnya.
Dalam kerangka politik, kata Gomar lagi, mestinya gereja harus masuk keterlibatan sosial. Artinya harus bisa berjuang dalam keadilan dan pembangunan nasional. Gereja tidak boleh mengurung dalam tembok-tembok tapi aktif keluar termasuk berperan dalam politik.
Pemilu serentak 2019 bisa dampaknya ambivalen bagi partai yakni di satu sisi memikirkan pemilu presiden di sisi lain harus memikirnya dirinya bisa terpilih masuk ke Senayan. Gomar juga menyinggung masih ada warisan Orba dalam proses demokrastisasi Indonesia yang membuat orang apolitis.
Setidaknya masih ada empat kelemahan dalam demokrasi Indonesia yang masih ditemukan, pertama politik kita masih transaksional. Kedua, masih ada politik indentitas. Masih ada yang menyatakan bahwa politik identitas wajar saja. Ketiga, masih ada oligarki partai. Terakhir, empat, demokrasi kita masih demokrasi Nir etika.
“Akhirnya ikut memilih dan memberikan suara adalah bagian tanggung jawab iman,” pungkasnya.
Leave a Reply