Jakarta WT – RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan (RUU PPK) jika cermati tidak ada naskah akademiknya, yang kedua tidak melibatkan umat Kristen sementara dikaitkan dengan agama Kristen. Demikian diungkapkan Ketua Umum PGLII Pdt Dr Ronny Mandang MTh menanggapi pro kontra keberadaan RUU PPK yang ditetapkan dan dibawa dalam pembahasan Rapat Pleno Baleg belum lama ini, di Gereja Karmel, Permata Hijau Selasa (30/10/2018).

“Ketika ada RUU (UU) mengatur tentang Kristen dibuat tanpa melibatkan umat Kristen berarti sama aja melecehkan agama Kristen. Logikanya kalau pembuatnya tidak tahu tentang kekristenan itu namanya penistaan,” tegasnya.

Kalau RUU itu disahkan, maka PGLII akan menolak eksistensi UU dan tidak percaya dengan pemerintah. Terutama dengan Pasal 2,  69 dan 70 yang mengatur Sekolah Minggu dan termasuk pengajar yang profesional ada sertifikasi.

“Intinya membuat RUU yang mengatur kekristenan tapi tidak melibatkan umat Kristen, itu sama sekali tidak dibenarkan,” tegasnya.

Selain itu, Sekolah Minggu diselenggarakan bukan orientasi ilmu, atau untuk pengetahuan.

Pada kesempatan itu, Sekretaris Umum PGLII Pdt Freddy Soenyoto, MTh membacakan surat pernyataan PGLII menolak tegas RUU PPK jika diberlakukan di kalangan umat Kristen.

Ronny Mandang juga memberi masukan mengingat pendidikan pesantren punya kekhasan sendiri maka lebih baik dibuat dalam satu UU tanpa menggabungkan dengan pendidikan umat beragama lainnya.

Ditambahkan Ronny Mandang, surat pernyataan itu ditujukan kepada presiden dengan pertimbangan agar RUU PPK ini nanti tidak disetujui presiden dan dibatalkan sebagai UU. Sebab sebuah UU akan berlaku jika disetujui DPR dan Presiden.

Pdt Dr Nus Reimas menegaskan bahwa RUU PPK ini jelas salah kamar. Jika sekarang bahas sekolah minggu besok masuk ke perempuan dan bapak. “Siapa pun pembuat ini harus bertobat,” tukas Ketua Dewan Pertimbangan PGLII ini.

Hadir dalam konferensi pers, Ketua III PP PGLII Deddy Madong, SH, MA, dari Komisi Hukum Hasudungan Manurung, SH, MH dan Hendra Harianto. Juga Rony Sigarlaki, SH dari majelis pertimbangan.

Menurut Deddy Madong, SH, MA secara pembuatan struktur hukum RUU PPK  sudah tidak lazim karena tidak mengatur sanksi pidana sebagaimana umumnya UU.

“Secara struktur hukum mustinya diatur sanksi pidana, disini tidak ada diatur sama sekali,” kritiknya tegas.

Ditambahkan Hasudungan Manurung, SH, MH bahwa jika RUU ini disahkan tanpa ada kajian maka sama saja ini membuka peluang seperti kasus SKB Menteri atau Perber dua menteri.

“Jika tetap dipaksakan maka PGLII tidak akan ragu membawa ke MK,” tukas Calon legislatif dari Partai Solidaritas Indonesia DPRD Tangsel nomor urut 6.

Karena itu, kata lulusan FH UI anggota DPR harus diisi berlatarbelakang hukum agar bisa membuat peraturan perundang-undangan taat asas dan memperhatikan keadilan sosial bagi umat agama lain, khususnya kristiani, yang jumlahnya jauh lebih kecil.

Komentar Facebook
http://warningtime.com/wp-content/uploads/2018/10/20181030_133859-1024x576.jpghttp://warningtime.com/wp-content/uploads/2018/10/20181030_133859-150x150.jpgadminwarningtimeHomeJakarta WT – RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan (RUU PPK) jika cermati tidak ada naskah akademiknya, yang kedua tidak melibatkan umat Kristen sementara dikaitkan dengan agama Kristen. Demikian diungkapkan Ketua Umum PGLII Pdt Dr Ronny Mandang MTh menanggapi pro kontra keberadaan RUU PPK yang ditetapkan dan dibawa dalam pembahasan...Mengungkap Kebenaran