JAKARTA WT –  Sejumlah pengunjung sidang  lanjutan kasus penipuan dan penggelapan aset (tanah) milik Yayasan Universitas Tujuh Belas Agustus 1945 (UTA 45) Jakarta dengan terdakwa Tedja Widjaja mempertanyakan sikap Ketua Majelis Hakim yang diketuai Tugiyanto SH MH dalam memimpin persidangan, termasuk sidang yang digelar pada Rabu, 6 Maret 2019 di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara. Tugiyanto dinilai Agus dkk  (pengunjung sidang) membatasi Jaksa Penuntut Umum (JPU) Fedrik Adhar SH MH mengajukan pertanyaan yang mendalam terhadap saksi, terutama saksi a de charge atau meringankan.

Padahal, pengajuan pertanyajian yang mendalam itu dalam rangka pelaksanaan tugas dan kewajiban jaksa membuktikan surat dakwaannya terhadap terdakwa Tedja Widjaja. Pada saat pemeriksaan tiga saksi; dua saksi a de charge dan satu saksi a charge (memberatkan), Tugiyanto seringkali memotong pertanyaan jaksa dengan mengatakan bahwa saksi tahu pembangunan kampus UTA 45. Termasuk ketika JPU menyelidiki sejauh mana pengetahuan saksi atas pembiayaan gedung kampus tersebut, ketua majelis hakim memotong dengan mengatakan tahunya saksi ada pembangunan gedung atau kampus UTA 45.

Kejadian hampir sama terjadi saat sidang mendengar saksi Dwito Kustidja pada Rabu (6/3/2019). Pada saat saksi Dwito Kustidja Hindarto memberi keterangan yang tidak bermutu dan ngawur karena memang dia tidak berkualitas sebagai saksi karena tak dapat menunjukan dan memberikan data yang akurat, Ketua Majelis Hakim Tugiyanto tampak bagai menuntut saksi untuk memberikan keterangan bahwa dirinya mengetahui pembangunan gedung kampus UTA 45..

Saksi Dwito Kustidja tidak selalu menjawab, adakalanya memberikan keterangan kata orang lain atau lupa.  Namun kesaksiaannya yang tak memberi kepastian tersebut masih saja terus diulur dan dipanjang-panjangkan majelis dengan memberikan keleluasaan kepada saksi bercerita. Padahal, posisinya sebagai saksi yang meringankan untuk terdakwa, seharusnya majelis hakim membatasi keterangan yang luar kontek atau permasalahan.

Saksi Dwito sesungguhnya tidak tahu dan mengerti tentang duduk perkara yang terjadi di Yayasan UTA 45 Jakarta. Karena saksi baru masuk bekerja di PT Graha Mahardika (GM) tahun 2012 atau setelah saksi korban Rudyono Darsono mengundukan diri. Sementara saksi memberikan keterangan yang terjadi tahun 2011 bahkan  jauh lagi sebelum dia masuk di PT GM.

“Sudah pastilah dia bersaksi dengan mengarang. Terbukti, tak ada data ditunjukkan untuk mendukung keterangannya sebagai saksi,” ujar seorang pengunjung sidang perkara yang cukup diminati pengunjung sidang untuk ditonton itu. Seorang saksi seharusnya orang mengetahui, melihat kejadian dan merasakan.

Sementara saksi  Dwito Kustidja Hindarto hanya menerangkan yang dikatakan orang lain. Hal itu bisa dilihat saat saksi menerangkan kejadian tahun 2009 padahal dia sendiri bekerja di PT GM tahun 2012.

Saksi Dwito dalam keterangannya mengaku dirinya adalah pemegang saham PT Graha Mahardika sekitar 40 persen. Saksi menjabat sebagai Dirut PT GM pada 2012. Meski begitu majelis hakim menanyakan soal perjanjian, jual beli tanah, dan pembangunan gedung yang rampung dibangun 2011..

Menurut saksi ketika Hindarto Budiman (ayah saksi) masih hidup, ada perjanjian dengan Yayasan UTA 45 dalam hal jual beli tanah yayasan, dan pembangunan gedung sekitar tahun 2010. Saksi juga menerangkan bahwa diriya tahu mengenai kesepakatan harga tanah yang di jual Yayasan UTA 45 yaitu Rp 65 miliar. Masih menurut saksi sudah ada pembayaran Rp 90 miliar dengan rincian ada berupa pembangunan gedung, uang tunai melalui transfer.

Namun ketika JPU Fedrik Adhar menanyakan, apakah saksi memiliki data pendukung untuk keteranganya itu misalkan bukti transfer,. saksi mengatakan, tidak ada, dan tahunya semua itu melalui cerita.

Mendengar itu, ada pengunjung sidang nyeletuk, artinya pihak jadi yayasan jadi untung Rp 25 miliar dari kesepakatan Rp 65 miliar. Kenapa pula dibayarkan Rp 90 miliar? Untuk apa juga capek-capek Rudyono Darsono melaporkan terdakwa Tedja Widjaja kalau pihak UTA 45 tidak dirugikan? Apakah saksi ini telah ditugaskan memutarbalikkan fakta dan menutup-tutupi perbuatan terdakwa Tedja Widjaja, tanya pengunjung sidang yang tidak mau ditulis jati dirinya itu.

Sayangnya lagi, Ketua Majelis Hakim Tugiyanto, menurut pengunjung sidang, terkesan menggiring saksi dengan sasaran akhir perkara pidana tersebut masuk ranah perdata. Seharusnya setiap hakim, terutama ketua majelis, benar-benar menjunjung tinggi netralitas, fair play, independensi dan kejujuran sebagai wakil Tuhan di muka bumi. Jangan sampai menggadaikan rasa keadilan dan kebenaran demi sesuatu hingga tergadai pula obyektifitas, netralitas dan independensi hakim yang seharusnya dijaga dan dijunjung tinggi itu.

Terdakwa Tedja Widjaja dihadapkan ke persidangan oleh JPU Fedrik Adhar SH MH dengan sangkaan telah melakukan penipuan dan penggelapan hingga menyebabkan aset (tanah) Yayasan UTA 45 berpindah tangan, dan merugikan pihak Yayasan UTA 45 Jakarta puluhan miliar rupiah. Philipus

Komentar Facebook
http://warningtime.com/wp-content/uploads/2019/03/IMG-20190308-WA0006-1024x768.jpghttp://warningtime.com/wp-content/uploads/2019/03/IMG-20190308-WA0006-150x150.jpgadminwarningtimeHomeJAKARTA WT -  Sejumlah pengunjung sidang  lanjutan kasus penipuan dan penggelapan aset (tanah) milik Yayasan Universitas Tujuh Belas Agustus 1945 (UTA 45) Jakarta dengan terdakwa Tedja Widjaja mempertanyakan sikap Ketua Majelis Hakim yang diketuai Tugiyanto SH MH dalam memimpin persidangan, termasuk sidang yang digelar pada Rabu, 6 Maret 2019...Mengungkap Kebenaran