Koalisi Advokasi Kemerdekaan Beragama Bandung: Terkait Delik Agama Diskriminatif Minta Tunda Pengesahan RUU KUHP
Warningtime Bandung – Terkait rencana Pemerintah untuk segera mengesahkan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana(RKUHP) sekitarAgustus 2019, Koalisi Advokasi Kemerdekaan Beragama atau Berkeyakinan Bandung berpendapat bahwa meskipun ada perkembangan baik terkait delik-delik keagamaan, namun masih tetap ada pasal-pasal yang menimbulkan kekuatiran apabila diberlakukan. Pasal-pasal ini adalah:
Pertama, Pasal 2 RKUHP. Pasal ini menyimpangi asas legalitas, sebab membuka celah penerapan hukum seperti yang terlihat dalam perda-perda diskriminatif saat ini. Dalam pasal ini disebutkan bahwa hukum yang hidup dalam masyarakat yang tidak datur dalam KUHP menurut pasal 2 ini tetap berlaku, meskipun dikatakan “sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, UUD 1945, HAM dan asas-asas hukum umum yang diakui masyarakat beradab,” tetapi pasal karet seperti ini membuka ruang bagi tumbuhnya perda-perda diskriminatif.
Kedua, Pasal 250 dan 313 masih menggunakan kata “penghinaan”, padahal penghinaan bersifat subyektif.
• Pasal 250: meskipun semangat pasal ini baik tetapi perlu diganti dengan kata yang tidak multitafsir. Selain itu hukuman terhadap penghinaan oleh para ahli di dunia/PBB diarahkan kepada pertanggungjawaban perdata. Kalaupun pidana hendak mengatur penghinaan maka pemidanaannya adalah denda.
• Pasal 313: kata penghinaan sebaiknya diganti dengan “siar kebencian” untuk melindungi pemeluk agama dari kejahatan. Hal ini juga sesuai dengan kecenderungan internasional, sebagaimana dalam evolusi Resolusi Dewan HAM 16/18, yang menggeser “penodaan agama” menjadi “Memerangi Intoleransi”. Resolusi ini diinisiasi oleh Organisasi Konferensi Islam (OKI) di Dewan HAM PBB pada tahun 2011, dikarenakan penggunaan istilah “penodaan agama” telah banyak memperoleh pertentangan dari berbagai negara;
Yang ketiga, Judul bab VII menyebut “Tindak Pidana Terhadap Agama dan Kehidupan Beragama”. Judul ini salah secara bahasa maupun konsep. Seharusnya agama tidak dapat menjadi subyek hukum, subyek hukum yang perlu dilindungi adalah penganut agama. Sebagai sebuah konsep, menempatkan agama sebagai subyek hukum adalah problematis, karena ia tidak dapat mewakili dirinya sendiri di proses hukum. Artinya ini mengandaikan adanya orang yang mewakili agama. Mengingat adanya keragaman terkait keyakinan keagamaan, bahkan di dalam satu agama ada beragam tafsiran, maka apabila negara mendengar dan mengambil satu tafsir agama tertentu artinya negara telah berlaku diskriminatif.
Keempat, Pasal 315 memang tidak melarang orang untuk tidak beragama melainkan hasutannya. Masalahnya adalah kata “hasutan” multitafsir sehingga bisa menyasar orang yang hanya mengajak bahkan orang yang tidak beragama sebagai sebuah keyakinan. Kata “meniadakan agama” juga membingungkan karena dapat berarti seluruh agama, atau hanya satu agama, dan/atau keyakinan di dalam agama. Meniadakan juga multitafsir apakah maksudnya pada satu orang atau untuk meniadakannya sama sekali dari bumi Indonesia.
Kelima terkait Pasal 316 tentang membuat gaduh di dekat bangunan tempat untuk menjalankan ibadah pada waktu ibadah sedang berlangsung sebenarnya memiliki maksud yang baik. Hanya saja kata “gaduh” dapat multi tafsir terkait sebesar apa suara sehingga dapat dikatakan gaduh.
Kemudian pada Pasal 503 tentang pencurian benda suci keagamaan yang menjadi pemberatan. Apakah ada derajat di antara benda suci keagamaan, misal suatu patung dengan gelas. Pertanyaan lainnya adalah apa kategori benda suci keagamana? Apakah kalung berlambang keagamaan tertentu masuk benda suci keagamaan?
Kami juga menyoroti beberapa hal, pertama, pembahasan RKUHP yang tidak terbuka sehingga menyulitkan masyarakat dan lembaga keumatan yang hendak berpartisipasi.
Kedua, landasan pemikiran serta argumentasi di balik perumusan delik yang dimuat dalam RKUHP saat ini, secara khusus ‘pasal-pasal tentang agama’, alih-alih menyelesaikan atau mencegah kejahatan serta konflik, justru semakin membuka ruang memperkuat diskriminasi, menimbulkan konflik dan melegitimasi tindakan intoleransi di tengah masyarakat.
Ketiga, semangat “restorative justice” yang seharusnya dikedepankan daripada semangat “penghukuman” dari rumusan delik-delik di atas masih sangat minim. Keempat, terlihat bahwa semangat membatasi daripada menjamin kemerdekaan beragama dan berkeyakinan menjadi pendekatan utama.
Atas empat alasan ini kami meminta pengesahan RKUHP ditunda dan pembahasan dengan masyarakat terkait dibuka kembali dengan mengedepankan asas legalitas dalam hukum pidana secara tertib yang terdiri atas asas lex scripta, lex stricta, lex temporis delicti, lex certa serta semangat “restorative justice” dan prinsip-prinsip hak asasi manusia.
Leave a Reply