Warningtime.com Bandung – Ketua DPD Persatuan Intellegensia Kristen Indonesia (PIKI) Jawa Barat Arijon Manurung menyerukan sikap tegas Negara atas tindakan Intoleransi dan “Ekstrimisme” di Sumatera Barat dan daerah lain di wilayah NKRI.

“Pelarangan perayaan Natal di dua kabupaten (Sijungjung dan Dharmasaraya) Sumatera Barat sudah mengebiri hak asasi umat Kristen dan tentu saja ini melanggar HAM rakyat Indonesia yang dijamin UUD 1945. Karena itu, pemerintah harus menjamin hak dasar menjalankan kebebasan menjalankan agama dan keyakinannya,” tegas Arijon Manurung pada siaran pers, Sabtu (21/12/2019) yang diterima redaksi Warningtime.com

Sebagai Ketua DPD PIKI Jawa Barat, Arijon Manurung menyampaikan dua sikap PIKI Jawa Barat menyikapi yang terjadi belakangan ini. Pertama, tindakan pelarangan perayaan Natal di Sumbar adalah tindakan intoleransi yang seharusnya tidak boleh terjadi di NKRI. Kami sangat menyayangkan peristiwa yang inkonstitusional tersebut. Kedua, kami menyayangkan sikap diam, bahkan pembiaran, yang dilakukan baik oleh pemerintah daerah Sumbar maupun oleh pemerintah pusat NKRI.

“Kami meminta pemerintah daerah Sumbar dan pemerintah pusat untuk segera menindak pihak-pihak yang melarang perayaan natal yang sudah berlangsung lama. Tugas pemerintah mengayomi dan menjamin hak peribadatan semua warganya,” tegas eks aktivis GMKI ini.

Selain itu, sambung jemaat GKI Kebon Jati Bandung ini, PIKI Jabar juga mengeluarkan tiga seruan antara lain; pertama, setiap warga negara Indonesia dapat menahan diri dari berbagai hasutan yang memecah-belah persatuan kita sebagai warga negara Indonesia yang mencintai keberagaman.

Berikutnya, agar para pemimpin agama terus menyebarluaskan pesan-pesan damai dan mengajarkan umat untuk hidup saling menghargai dan saling membangun di tengah perbedaan. Terakhir, Pemerintah Indonesia, baik di daerah maupun di pusat bertindak tegas terhadap kelompok intoleran dengan tetap menghargai hak hidup setiap orang. Pemerintah harus melindungi kebebasan setiap warga negara untuk beribadat dan merayakan hari raya keagamaan secara bersama.

Natal tanpa ancaman masih menjadi dambaan, belum sepenuhnya menjadi kenyataan di seluruh pelosok negeri Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam tahun-tahun belakangan, umat Kristen dan kelompok minoritas lain di beberapa wilayah NKRI bahkan tidak bisa berkumpul untuk beribadat sesuai dengan keyakinan agama mereka. Izin membangun gedung gereja atau rumah ibadat pun lebih sulit didapatkan dari pada mengantongi izin membangun sebuah hotel dan club malam. Merayakan Natal pun demikian. Lebih sulit merayakan Natal dari pada menggelar pesta dangdutan di kampung-kampung.

Seperti tahun-tahun sebelumnya, di bulan Desember tahun ini kembali kita mendapati kenyataan-kenyataan yang memilukan. Selain larangan mengucapkan selamat Natal yang dikeluarkan oleh pemuka kelompok aliran keagamaan tertentu, kita pun kembali dihebohkan dengan larangan merayakan Natal secara bersama di Dharmasraya dan Sijunjung, Sumatera Barat. Larangan ini bukan baru pertama terjadi, tetapi sudah berlangsung cukup lama. Lantas, di mana negara? Mengapa pemerintah terkesan berdiam diri dan membiarkan tindakan tidak terpuji yang melanggar hukum itu terus terjadi?

Kebebasan berkumpul dan beribadat sesuai dengan agama atau keyakinan serta merayakan hari raya besar keagamaan adalah hak asasi setiap manusia. Hak dasar manusia ini tidak hanya dijamin secara internasional, tetapi juga dilindungi oleh Undang-Undang Dasar dan konstitusi nasional negara Indonesia.

“Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, dan berhak kembali.” dan, “negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Inilah konstitusi negara kita, sehingga beribadat atau pun merayakan hari raya besar agama adalah juga hak warga negara yang dijamin konstitusi, dan negara berkewajiban menjaminnya.

“Ketika negara berdiam diri dalam konteks pelarangan seperti yang terjadi di Sumbar, apalagi “membenarkan” pelarangan tersebut dengan merujuk pada kesepakatan lokal yang sudah dibuat di akar rumput, maka negara atau pemerintah telah gagal menjalankan amanat konstitusi. Kelemahan mendasar pemerintah ini berpotensi melanggengkan tindakan-tindakan intoleransi dan ekstrimisme, dan pertaruhannya adalah persatuan, keutuhan dan masa depan bangsa Indonesia,” tegasnya.

Intoleransi dan ekstrimisme sesunguhnya bukan hanya bertentangan dengan konstitusi, tetapi juga berseberangan dengan hakikat agama-agama yang ada untuk menghadirkan keadilan, perdamaian, dan keutuhan seluruh ciptaan. Apa pun agamanya, jika tetap berada di jalan yang lurus, maka akan tetap memperjuangkan keadilan, kesetaraan, kesejahteraan untuk semua, sebab itulah yang dikehendaki Allah kehidupan.

Allah kehidupan adalah Allah yang penuh cinta dan rahmat, bukan kebencian dan kekerasan. Tindakan kekerasan dan ujaran-ujaran kebencian bukan hanya bertentangan dengan hakikat agama, tetapi bertentangan dengan kehendak Allah kehidupan. Ad Caritas Et Veritas, Demi Keadilan dan Kebenaran

Komentar Facebook
http://warningtime.com/wp-content/uploads/2019/12/IMG-20191222-WA0027.jpghttp://warningtime.com/wp-content/uploads/2019/12/IMG-20191222-WA0027-150x150.jpgadminwarningtimeFokusHomeWarningtime.com Bandung – Ketua DPD Persatuan Intellegensia Kristen Indonesia (PIKI) Jawa Barat Arijon Manurung menyerukan sikap tegas Negara atas tindakan Intoleransi dan “Ekstrimisme” di Sumatera Barat dan daerah lain di wilayah NKRI. “Pelarangan perayaan Natal di dua kabupaten (Sijungjung dan Dharmasaraya) Sumatera Barat sudah mengebiri hak asasi umat Kristen dan...Mengungkap Kebenaran