Dr. S. Roy Rening SH., MH Mengajak Semua Pihak Save Gubernur Lukas Enembe dari Ancaman Kriminalisasi dan Politisasi
WT.Com, Jayapura- Kasus Gubernur Papua Lukas Enembe yang sedang sakit dan sedianya berobat ke Singapura (sudah mengantongi izin dari Mendagri Tito Karnavian) tiba-tiba ditetapkan tersangka KPK tanpa dipanggil lebih dulu menyita perhatian masyarakat luas. Terkait hal itu, Dr. S. Roy Rening, SH bersuara keras.
Penasihat Hukum Gubernur Luka Enembe Dr. S. Roy Rening, SH, MH menegaskan bahwa penetapan tersangka oleh KPK terhadap kliennya primatur. Alasannya, sebelum Gubernur Lukas Enembe ditetapkan sebagai tersangka, KPK sudah terlebih melakukan penyelidikan atas dugaan tindak pidana korupsi dengan nomor Sprint.Lidik-79/Lid.01.00/01/07/2022 tertanggal 27 Juli 2022.
“Ini sehubunagn penyelidikan tindak pidana korupsi pada Pemerintah Provinsi Papua untuk masa jabatan tahun 2013 – 2018 dan tahun 2018 – 2023, dengan dugaan melanggar Pasal 2 dan Pasal 3 UUTPK. Unsur terpenting dari Pasal 2 dan Pasal 3 tersebut adalah adanya unsur perbuatan melawan hukum dan penyalahgunaan wewenang serta kerugian Negara,” tukasnya.
Namun diduga KPK sepertinya mengalami kesulitan untuk membuktikan bahwa adanya unsur kerugian negara karena Pemerintahan Gubenur LE selama delapan tahun berturut-turut hasil audit BPK menyatakan pengelolaan keuangan negara Pemprov Papua WTP (Wajar Tanpa Pengecualian). Artinya penyidik KPK mengalami kesulitan untuk membuktikan adanya unsur kerugian negara dalam pelaksanaan proyek APBD tahun 2013 sampai dengan 2021.
Selanjuntya kata Roy Rening, ada dugaan kuat, KPK melakukan pengalihan penyelidikan dari Sprint.Lidik-79/Lid.01.00/01/07/2022 tanggal 27 Juli 2022 dan kemudian berubah menjadi LKTPK-36/Lid.02.00/22/09/2022 tanggal 01 September 2022 karena adanya surat permohonan izin berobat dari Gubernur Papua kepada Menteri Dalam Negeri pada tanggal 31 Agustus 2022.
Berdasarkan Surat Nomor: 098/10412/SET, tertanggal 31 Agustus 2022. Perubahan arah penyelidikan KPK dari melanggar Pasal 2 dan Pasal 3 UUTPK (Kerugian Negara) menjadi Pasal 5 dan Pasal 11 atau Pasal 12 UU TPK (Delik Gratifikasi) memperjelas bahwa Gubenur Lukas Enembe menjadi Target Operasi (TO) KPK dalam rangka kriminalisasi/pembunuhan karakter Gubernur Papua.
“KPK terkesan mencari-cari pasal-pasal pidana korupsi yang lebih mudah untuk menangkap dan menahan Gubenur LE untuk mencapai tujuan politik untuk menguasai pemerintahan di provinsi Papua. Hal tersebut dapat dilihat ada upaya sistimatis dan terstruktur melakukan kriminalisasi terhadap Gubernur Papua,” sindirnya.
Penyidik KPK sudah menetapkan Gubernur LE sebagai tersangka pada tanggal 05 September 2022, kemudian dilanjutkan dengan Tindakan pencekalan melalui Dirjend Imigrasi, dan pada tanggal 09 September 2022.
Yang paling ironis, sambungnya, KPK telah menetapkan Gubernur Lukas Enembe sebagai tersangka tanpa terlebih dahulu melakukan pemanggilan atau klarifikasi terhadap Gubernur LE. Selanjutnya melakukan pencekalan pada tanggal 07 September 2022 tanpa memberitahukan kepada Gubernur LE atau tanpa mengumumkan kepada public. Ini tidak lazim di KPK. Apalagi yang ditersangkakan adalah pejabat public yang sangat berpengaruh di Tanah Papua. Hal lain adalah Guntur Asep Direktur Penyidikan KPK (berpangkat Brigjend Pol) memimpin langsung penyelidikan dan penyidikan dalam perkara aquo di Mako Brimob Jayapura. Ada apa dengan kasus dugaan gratifikasi 1 Milyard sampai Direktur Penyidikan turun langsung di Jayapura. Hal ini perlu dikritisi untuk melihat adanya benang upaya kriminalisasi Gubenur Papua.
“Penetapan tersangka yang dilakukan oleh KPK tidak sah karena tidak memenuhi persyaratan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 184 KUHAP (Minimal 2 alat bukti yang sah) dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014.”
Bukan Gratifikasi Dana Sendiri
Penetapan tersangka Gubernur Lukas Enembe disangkakan menerima hadiah atau janji (gratifikasi) dari seorang yang bernama Prijatono Lakka. Dana yang ditaransfer oleh Prijatono Lakka sebesar 1 (satu) Millyard rupiah. Menurut pengakuan Gubernur Lukas Enembe kepada Tim Hukum, dana tersebut adalah dana pribadi Gubernur Lukas Enembe sendiri.
Prijatono Lakka diminta tolong oleh Gubernur LE untuk mentransfer dana tersebut. Menurut pengakuan Prijatono Lakka didepan penyidik KPK bahwa dana tersebut adalah dana Bpk. Gubenur LE. Sendiri,” tutur Roy memberi alaasan. Apalagi Prijatono Lakka adalah seorang pendeta dan juga membantu pengadaan perabot-perabot rumah pribadi Gubernur LE sudah dianggap orang dalam rumah.
“Dananya tidak terkait dengan sumber proyek APBD Papua 2013 s/d 2022. Artinya, unsur yang paling pokok dalam delik gratifikasi (Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b, atau Pasal 11 dan Pasal 12B Undang – Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang – Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi) mengenai delik materialnya yang berkaitan dengan unsur menerima hadiah Satu Millyard tidak terpenuhi.
Kalau faktanya seperti ini, maka dapat disimpulkan adanya kriminalisasi dan pembunuhan karakter terhadap Gubernur Lukas Enembe, oleh karena penyidikan tidak sesuai dengan hukum pidana formilnya maupun pidana materiilnya.
Leave a Reply