Ketika Tano Niha Dambakan Provinsi Nias
Sorake. Pantai dengan ombak nomor dua terbaik dunia, setelah Hawai, siang itu sepi. Pasang laut lagi surut, sehingga hanya menyisakan karang-karang membentuk petakan tak teratur seperti tambak garam. Di kejauhan terlihat ombaknya bekejaran mendekati bibir pantai tentu saja menarik siapa saja pecinta peselancar untuk mencobanya. Namun siang itu hanya tampak dua orang meliuk-liuk di gulungan ombak.
Mengamati lebih jauh, sepanjang bibir pantai, hanya empat turis asing yang bersantai di depan pondokan atau penginapan yang bertuliskan losmen. Sementara para pelatih selancar hanya asik bermain biliar untuk membunuh waktu.
Barisan bagunanan khusus penginapan dua lantai memang terkesan tidak terurus. Karena menyisakan beberapa bangunan yang tidak terawat. Cari tahu pasalnya, menurut Iwan Haruwu bahwa sejak gempa yang melanda Nias, parawisata di Teluk Dalam belum pulih benar.
“Dulu turis ramai sekali di sini. Tetapi pernah ada perang antar suku di sini membuat turis berkurang drastis. Baru sejak gempa Nias masyarakat sini berdamai, tetapi seperti terlambat belum juga mendongkrak jumlah turis bule berkunjung,” tutur pria yang berprofesi sebagai guade dan driver untuk wisatawan.
Hanya satu kilometer dari Sorake, hal yang sama juga terdapat di Pantai Lagundri, yang terkenal dengan pasir halusnya yang kecoklatan. Saat memasuki kawasan pantai yang dikelilingi pohon kelapa, bahkan pantai yang membentang seperti bulan sabit tersebut kosong melompong hampir tak ada aktifis orang di sana . Hanya satu orang penduduk lokal yang mencoba ombak dengan papan selancar. Beberapa saat kemudian dua orang anak kecil, satu perempuan (11) dan laki-laki (6) yang baru pulang sekolah langsung berlatih selancar. Si bocah dengan lincah bermain di atas gulungan ombak.
Tak tampak satu pun turis asing disana. Meski jelas tak kalah indah dengan pantai Kuta dan Sanur di Bali, tapi perbedaan keduanya mencolok, kalau tidak bisa dibilang perbedaannya bagaikan bumi dan langit. Yang satu sepi turis yang lain tiap hari selalu disesaki turis. Indahnya pantai Lagundri dan suasana sepi jelas menggoda GAHARU dan dua rekan wartawan dari Jakarta, Alex (Inspirasi) dan Noel (Mitra Indonesia) untuk tak melewatkan kesempatan berenang dan menjajal surfing. Meski harus menyewa baju pengganti karena memang tidak pernah merencanakan untuk berenang.
Pesona Bawamataluo
Puas menikmati keindahan Sorake dan Lagundri, hanya sekitar 20 menit perjalanan langsung meluncur ke Bawamataluo, kampung adat Nias yang terkenal seantero dunia dan terletak di atas bukit. Kampung Adat Nias yang pelatarannya dari batu-batu alam adalah satu-satunya yang tersisa memang sungguh memesona dan indah.
Untuk sampai di sana tiap orang harus mendaki sembilan puluh delapan undukan tangga menanjak curam dari arah jalan raya di bawahnya. Begitu sampai di atas persis pintu gerbong Barat, waktu seperti berhenti karena langsung menawarkan menunjukkan panorama yang luar biasa. Sejauh sapuan mata memandang terdapat hamparan hijau dari hutan yang tetap terjaga dengan kearifan penduduk lokal.
Dikejauhan arah selatan tampak Pantai Sorake dan Lagundri tak jauh dari kota Teluk Dalam. Bersisian dengan Nias Barat di bagian lain. Dari atas bukit Kampung Adat Nias, yang semakin membuat siapa saja takjub di tengah hutan-hutan ada sebuah lembah yang menjadi perkampungan dengan sebuah gereja di tengah sebuah model yang lazim dalam desa-desa Nias yang hampir 85 persen penduduknya memeluk Kristen. “Itu desa asal kami dahulu sebelum naik ke puncak bukit ini,” tutur Robin Gea salah satu penduduk kampung adat Nias
Kampung Adat Nias Bawamataluo, berbentuk uruf T dengan membentuk garis lurus dari pintu Barat-Timur, mengikuti matahari terbit di balik bukit dan tenggelam di pintu gerbang Barat arah pantai. Kampung adat yang semua rumahnya terbuat dari kayu terdiri dari 1300 rumah tangga dengan enam ribu lebih penduduk yang mendiami puncak.
Turis luar negeri yang berkunjung juga tidak banyak, saat tiba hanya ada dua orang bule. Sayangnya, sikap warga sekitar yang selalu mengerubungi wisatawan dengan menjajakan dagangnya membuat orang terganggu tidak bisa lama berada di sana menikmati kampung yang indah tersebut. Bahkan wartawan juga tak luput dari desak-desakan untuk membeli dengan setengah memaksa, yang herannya sebagian besar adalah anak-anak. Umumnya, wisatawan hanya mampir sebentar sebelum berbalik karena ketidaknyamanan. Ini menjadi pekerjaan rumah Dinas Parawisata Nias Selatan harus memberi pelatihan kalau mau mendongkrak jumlah wisata ke sana.
Mencari tahu sebab sikap para warga lokal yang cenderung agresif dan bahkan mengerumuni tamunya, seorang warga lokal yang tinggal di bawah kampung adat mengatakan itu terjadi karena pada pria di sana banyak yang tidak kerja. “Kebanyakan yang kerja itu ya adalah istri di sana, sementara prianya ya nganggur gitu,” tukas Roby Harefa.
Jalan Darat Lancar
Perjalanan dari Gunung Sitoli ke Nias Selatan, tempat wisata utama Nias sudah lancar. Dengan jarak 120 km bisa ditempuh dengan 2,30 jam. Jalan juga lumayan bagus dengan hotmix mulus hanya beberapa di tempat yang rusak. Sedikit mengganggu beberapa pasar harus dilewati yang pengunjungnya tumpah ruah ke dalam yang pasti membuat macet jalanan karena kurang beraturan.
Bupati Kabupaten Nias, Laoly kepada GAHARU menyatakan bahawa sebagai kabupaten induk Nias dan juga tiga kabupaten lain juga kota Gunung Sitoli siap menerima investor mana saja yang mau menanamkan modalnya di Nias. “Lihat sendiri kan, jalan lingkar Nias sudah bagus dan itu statusnya jalan negara sekarang yang dikelola departeman pekerjaan umum,” tutur pengacara di Jakarta sebelum memimpin kabupaten Nias.
Laoly juga menambahkan bahwa jika ada yang mengatakan bahwa masih ada saja gangguan di Nias, itu sama sekali tidak benar. “Lihat sendiri kan saat Anda berkunjung ke Teluk Dalam aman-aman saja, itu hanya upaya orang yang tidak mau Nias berkembang dan maju,” tutur politisi yang dulu aktif di PDKB ini.
Gempa 2015 Mempersatukan
Sembilan tahun pasca gempa yang melulantahkan Nias, November 2014 Nias bergeliat melangsungkan perhelatan besar dengan menjadi tuan rumah Sidang Raya PGI XVI yang untuk pertama kalinya. Bersama gereja tuan rumah BNKP, ONKP, AMIN serta empat kabupaten dan satu kota secara kompak menjadi tuan rumah penuh bagi penyelenggaraan perhelatan besar dari gereja di Indonesia.
Wakil Presiden Jusuf Kalla hadir dalam membuka Sidang Raya PGI dihadapan 10 ribu warga nias dan lebih dari seribu para tokoh gereja yang menghadiri acara tersebut. Untuk menyukseskan acara terutama transportasi departemen perhubungan sampai mendatangkan 20 unit mobil dari Jakarta dan Medan demi suksesnya acaranya.
Ada yang satu hal menarik dari pengalaman Nias diguncang gempa. Masyarakat Nias umumnya menyadari bahwa perlu ada kesatuan yang erat dalam usaha membangun kembali Nias. Dampaknya hampir tidak terlihat sisa-sisa reruntuhan pasca gempa 8,9 skala richter yang melulantahkan Nias. Tema PGI “Tuhan angkat dari samudera raya” terasa pas dengan Nias yang kini bergeliat lagi.
Dampak lain juga dirasakan di gereja. Seperti diakui Pdt Harefa dari BNKP bahwa gempa 2015 bukan saja mempersatukan masyarakat Nias tetapi membuat gereja semakin berbenah dalam melayani jemaat. Sebabnya masuknya berbagai aliran ke Nias membuat gereja lokal berbenah untuk melayani jemaatnya dengan lebih baik. “Kita tidak mau jemaat kelaparan (rohani) supaya domba tidak tercuri,” ungkapnya dengan mimik serius.
Leave a Reply