Si Mona Ko Ke Toba? – Pdt Marihot Siahaan, STh
Jakarta – Kurang lebih setengah tahun terakhir ini berita bahwaDanau Toba akan disulap menjadi Monako Asia telah menggelinding. Rencanaini dicetuskan oleh Menteri Kordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli tidak lama setelah pelantikannya menjadi menteri pada tanggal 12 Agustus 2015. Pemerintah melalui Rizal Ramli dan menteri – menteri terkait khususnya menteri pariwisata memberi angin segar dan sinyal menggelegar terhadap Danau Toba dan masyarakat kawasan.Maklum pemerintah Indonesia belum pernah membuat Danau Toba sebagai prioritas dalam rencana pengembangan. Tidak tanggung – tanggung, namanya saja menyulap Danau Toba menjadi “Monaco of Asia” dan dengan biaya yang pantastis, sebesar 21 triliun, berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara. Suatu rencana yang memberi harapan besar bagi pengembangan ekonomi Indonesia melalui industri pariwisata di Danau Toba dan kawasan. Bukan hanya itu, rencana ini sekaligus menjadi solusiterhadap menurunnya kunjungan wisatawan pada dekade terakhir ini. Perubahan besar dan spektakuler akan terjadi. Begitulah kira-kira yang dapat diprediksi, termasuk perubahan (perbaikan) di bidang sarana dan prasarana.Sudah pasti juga pemerintah berharap dengan meningkatnya bisnis pariwisata Danau Toba akan meningkat pula devisa negara yang masuk sama seperti yang dialami negara lain seperti Singapura, Monako dan lain – lain yang sudah maju dalam industri pariwisata.
Rencana besar ini juga menjadi kejutan yang mengejukan banyak kalangan, temasuk masyarakat di kawasan Toba.Pasti banyak yang menyambut gembira dengan alasan dan motivasi yang berbeda. Seorang teman aktivis lembaga yang peduli Danau Toba, usai bertatap muka dengan Menteri Rizal Ramli, mengekpresikan kegembiraannya atas gasasan besar ini serta menyampaikan pujian kepada menteri tersebut atas kepeduliannya terhadap Danau Toba.Masyarakat Sumatera Utara, khususnya tujuh Kabupaten kawasan Danau Toba sudah pasti menyambutnya dengan antusias. Antusias, paling tidak karena mendengar istilah “Menyulap Danau Toba Menjadi Monako Asia” yang bombastis itu.Monako adalah sebuah negara kerajaan di benua Eropa, yang mempunyai motto: Deo Juvante (Dengan Pertolongan Tuhan). Meskipun kecil, Monako adalah negara kaya dan terkenal, terutama karena statusnya sebagai taman bermain orang kaya dan orang – orang terkenal, sangat menarik dan ramai dikunjungi wisatawan.Suatu negara yang pantas menginspirasi tentu.
Itulah gambaranpintas perubahan, perbaikan dan kemajuan yang dijanjikan. Tentu bukan kapasitas saya memberikan analisa dan penjelasan detail dan akurat dari perubahan yang mungkin akan terjadi. Bukan pula tujuan utama tulisan singkat ini untuk menjelaskannya.Tujuan kita adalah mempertanyakan bagaimana kesiapan mental, moral dan spiritual masyarakat kawasan menyambut rencana besar ini. Jika rencana besar ini benar direalisasikan, maka yang terjadi bukan hanya hal – hal positif , tetapi juga yang negatif. Itulah alasan judul tulisan ini dibuat “Si Mona Ko Ke Toba?”Suatu judul plesetan dari judul Danau Toba Menjadi Monako.Bertanya sinis sekaligus evaluatif – reflektif. Karenadi samping janji – janji manis yang ditawarkan oleh rencana besar tersebut sudah pasti ada dampak buruknya. Lagi pula perubahan selalu selalu berbuah baik dan buruk sekaligus.
Jika Danau Toba diubah menjadi kawasan modern dalam waktu singkat, bukan tidak mungkin akan diikuti hadirnya mafia – mafia tanah, praktek perjudian dan prostitusi secara besar – besaran. Karena itu kita perlu bertanya “Si Mona Ko Ke Toba”?Kehadiran si “Mona” (bukan nama sebenarnya) yang pekerjaannya sebagai Pekerja Seks Komersial, mafia – mafia, penjudi dan politisi busuk akan menjadi ancaman bagi masyakat 7 Kabupaten di kawasan Danau Toba. Bukan tidak mungkin tanah di kawasan semakin beralih kepemilikan, tatanan adat budaya dibentur dan nilai – nilai keagamaan digempur. Masyarakat lokal akhirnya terpinggirkan dan tersingkir, digantikan oleh pemilik modal. Budaya Batak Pakpak, Karo, Simalungun dan Toba terancam dan nilai agamis dan gerejawi digoyang. Jadilah masyarakat Batak menjadi penonton di tanah sendiri. Samosir yang diyakini sebagai tanah asal usul orang Batak beralih menjadi milik dan singga sana “Si Mona” dan pemilik modal. Itulah ancaman yang bisa bermetamorfosa menjadi malapetaka sosialbagi masyarakat kawasan, yang harus segera diwaspadai oleh semua pihak, baik masyarakat lokal, perantau, tokoh masyarakat dan adat, serta pempimpin – pemimpin gereja.
Karena itu semua harus peduli. Pemimpin – pemimpin harus meninggalkan singgasananya, tokoh masyarakat turun gunung,tokoh adat menyingsingkan lengan, perantau pulang kampung, intelektual membagi pikiran, dan orang berpunya harus menyediakan perbekalan, yang semuanya dalam rangka menyelamatkan Danau Toba, masyarakat kawasan, dan bona pasogit (kampung halaman). Siapa yang terpanggil dan terbeban menyelamatkan Danau Toba tidak mungkin berdiam diri.Kini gerakan cinta Danau Toba harus semakin dipercepat dan diperluas.Harus menjadi gerakan bersama.Gereja dalam hal ini harus segera mengambil peran aktif dan proaktif menggerakkan masyarakat untuk mencintai dan menyelamatkan Danau Toba.Pemimpin – pemimpin gereja harus menjadi pemimpin bagi suara dan gerakan kenabian yang menyebarkan cinta, kepedulian dan kebenaran. Supaya jika “Si Mona” dari Eropa benar – benar datang ke Danau Toba dan modernisasi telah sampai di sana, nilai – nilai budaya, agama, dan kristiani tetap tokoh menjadi landasan mental, moral dan spiritual masyarakat kawasan.
Untuk peduli kita perlu belajarlah dari seorang Nehemia.Nehemia yang memangku jabatan tinggi, seorang kepercayaan raja, yakni sebagai juru minuman raja Artahsasta dalam Kekaisaran Persia, tetap peduli kepada bangsanya yang tinggal di Yerusalem. Ketika ia mendengar saudara sebangsanya berada dalam kesulitan besar, ia meninggalkan kehidupan mewah di istana Persia dan pergi ke Yerusalem untuk membangun kota itu.Nehemia mau tahu dan menanyakan keadaan saudaranya.Inilah jawaban yang ia terima tentang kabar saudarana, “Kata mereka kepadaku: “Orang-orang yang masih tinggal di daerah sana, yang terhindar dari penawanan, ada dalam kesukaran besar dan dalam keadaan tercela. Tembok Yerusalem telah terbongkar dan pintu-pintu gerbangnya telah terbakar.”Ketika kudengar berita ini, duduklah aku menangis dan berkabung selama beberapa hari.Aku berpuasa dan berdoa ke hadirat Allah semesta langit.” (Nehemia 1: 3 – 4) Nehemia tidak tutup mata atas keadaan bangsanya yang sedang menderita, dan tidak pula ikut – ikut berkongkalikong untuk menjual dan menghisap darah saudaranya. Sebaliknya ia mengambil keputusan yang jelas, tegas dan baik demi menyelamatkan bangsanya dari kekacauan, kemiskinan dan penindasan.Firman Tuhan ini dengan jelas menggambarkan sikapnya,“Maka sangat marahlah aku, ketika kudengar keluhan mereka dan berita-berita itu.Setelah berpikir masak-masak, aku menggugat para pemuka dan para penguasa. Kataku kepada mereka: “Masing-masing kamu telah makan riba dari saudara-saudaramu!” Lalu kuadakan terhadap mereka suatu sidang jemaah yang besar.Berkatalah aku kepada mereka: “Kami selalu berusaha sedapat-dapatnya untuk menebus sesama orang Yahudi yang dijual kepada bangsa-bangsa lain. Tetapi kamu ini justru menjual saudara-saudaramu, supaya mereka dibeli lagi oleh kami!”Mereka berdiam diri karena tidak dapat membantah.Kataku: “Tidaklah patut apa yang kamu lakukan itu! Bukankah kamu harus berlaku dengan takut akan Allah kita untuk menghindarkan diri dari cercaan bangsa-bangsa lain, musuh-musuh kita? (Nehemia 5: 6 – 9)
Ketikaia pergi ke Yerusalem, ia bertugas sebagai gubernur sipil dengan kuasa dari raja Persia. Kkekuasaannya ia pergunakan untuk membagun kembali Yerusalem, bona pasogit-nya, dan menyelamatkan sadaudara – saudara yang miskin dan tertindas. Ia jelas mendemonstrasikan sikap seorang pemimpin sejati. Pertama, ia berani mengambil langkah nyata untuk mempersempit kesenjangan sosial. Tujuannya adalah mengubah perilaku sosial yang salah menjadi perilaku sosial yang peduli pada penderitaan rakyat miskin.Kedua, Nehemia tidak mencari popularitas dan tidak memanfaatkan jabatan untuk memperkaya diri.Ia mengutamakan kemuliaan Tuhan dengan merelakan haknya untuk rakyat miskin. Bukan tidak mungkin pemimpin – pemimpin gereja, tokoh masyarkatdan adat, perantau, intelektual dan orang berpunya asal bona pasogit ikut berkongkalikong dalam program Menyulap Toba Menjadi Monako Asia ini.Namun inilah tugas masyarakat dan pemimpin yang murni hatinya, yakni mempertanyakan “Si Mona Ko ke Toba”? Pertanyaan itu penting supaya kita siuman akan bahaya dan malapetaka sosial sebagai dampak buruk modernisasi yang segera menggenangi Danau Toba dan melingkupi Pulau Samosir serta seluruh kawasan dan Danau Toba. Kitapun akan tahu bersikap dan bertindak. Dalam semuanya itu kita lebih lagi harus belajar dari seorang Nehemia yang bertindak bukan demi perut dan kekuasaan duniawi, tetapi mengutamakan kemuliaan Tuhan dengan merelakan haknya untuk rakyat miskin, “Tetapi para bupati yang sebelumnya, yang mendahului aku, sangat memberatkan beban rakyat.Bupati-bupati itu mengambil dari mereka empat puluh syikal perak sehari untuk bahan makanan dan anggur.Bahkan anak buah mereka merajalela atas rakyat. Tetapi aku tidak berbuat demikian karena takut akan Allah.” (Nehemia 5:15)Hanya dengan belajar pada Nehemia yang takut akan Tuhan, kedatangan Monako dapat menjadi berkat. Dan hanya dengan demikianlah Danau Toba menjadi kota berkat di atas bukit. Semoga dan Tuhan memberkati Tao Toba Nauli. Horas, mejuah –juah, njuah – juah!
Leave a Reply