Junifrius gultomMisi merupakan hakekat Allah sendiri. Misi bukanlah apa-apa yang dikerjakan oleh Gereja namun misi adalah misi Allah sendiri (missio Dei). IA-lah inisiator dari misi. Dalam kerangka teologis penting ini, memberikan kepada kita pemahaman bahwa adalah Allah yang berkepentingan untuk menggenapi apa yang menjadi kehendak-Nya di dunia. Maka, gereja dan orang Kristen mensukseskan agenda Allah ketimbang mencanangkan program-program dan meminta Tuhan meng approve agenda-agenda tersebut. Meskipun demikian, tempat gereja sangat strategis sebagai perespons dari panggilan Allah untuk menggenapi misi-Nya di dunia ini. Gereja adalah saksi yang harus setia dari zaman ke zaman untuk apa yang Allah mau kerjakan di dunia ini. Dalam sejarah misi ada ahli-ahli yang mencoba untuk mendegradasi tempat gereja lokal, yang dianggap tidak terlalu penting dalam misi. Maka lahirlah istilah seperti misi yang berpusat pada gereja, dan misi yang berpusat pada Kerajaan Allah. Justru natur gereja adalah refleksi dari Allah sebagai Terang. Gereja tidak memiliki tugas yang lebih penting lainnya ketimbang tugas misi.

Dalam kaitan misi dan gereja ini memang beragam definisi telah diberikan. Biasanya teringkas di dalam dua istilah “mission as evangelization” (misi sebagai penginjilan) dan “mission as action” (misi sebagai tindakan). Di dalam definisi yang pertama maka gereja memandang penginjilan sebagai hal yang sangat mendasar dan menjadi hal yang tak terpisahkan dalam misi. Penginjilan karenanya dipahami sebagai tugas gereja yang ultimat. Sementara pada definisi yang kedua misi adalah hal-hal dan tindakan-tindakan bersifat rekonsiliasi, keadilan, dan keberpihakan kepada kelompok marjinal sebagai misi. Pada bagian ini, misi adalah amanat Kerajaan Allah yang ditandai oleh kesediaan untuk merangkul sepenuh-penuhnya kemanusiaan di dalam konteksnya termasuk secara khusus konteks yang menyebabkan adanya marjinalikasi dan ketidakadilan. Gereja adalah komunitas profetik yang memanggil gereja untuk mengasihi dan melakukan tindakan keadilan yang adalah tanda-tanda Kerajaan Allah.

Alasan demikianlah yang membuat permahaman kita soal misi di dalam konteks Indonesia yang plural ini menjadi strategis. Kita melihat kesatuan pemahaman, tanpa menaifkan perbedaan pandangan mengenai misi, belum terjadi di kalangan gerea-gereja di Indonesia. Mereka yang terlalu menekankan misi sebagai penginjilan dan misi berpusat pada gereja, cenderung berorientasi kepada pencapaian-pencapaian matematis, dan lebih bersifat triumpalistik yang sering disamakan dengan usaha-usaha Christendom (mis prosetelisme) ketimbang misi bersifat Christianity (suatu usaha menjadikan Kekristenan di dalam kaitannya dengan misi Trinitas). Sebaliknya misi sebagai tindakan (mission as action), dianggap oleh kaum Injili, berkecenderungan meredupkan penginjilan dan perintisan gereja-gereja. Bagi orang-orang Injili tidak segala sesuatu adalah misi, jika demikian seperti ungkapan seorang ahli misi, “if mission is everything, then impossible is mission.” Kaum Injili meyakini bahwa misi harus menampilkan konsern yang melampaui segala sesuatu yaitu kemuliaan Allah. Seperti yang dikatakan John Piper dalam bukunya Let the Nations Be Glad: The Sovereignty of God in Missions, misi harus dipandang di dalam konteks tujuan tertinggi untuk membawa manusia berdosa untuk bergabung dengan semua ciptaan memuji dan mempermuliakan Allah yang hidup.

Belakangan ini di dunia semakin muncul kesadaran akan pendekatan yang lebih integratif kepada misi sebagai Gereja bersama-sama. Misi tidak dapat lagi dipahami sekedar mempersempitnya dengan urusan menjadikan orang-oran menjadi Kristen dan mendirikan sebanyak mungkin gereja, tetapi menyadari tantangan-tantangan ril untuk memaknai apa makna kehadiran Kristen di dunia dan bagaimana seharusnya kesaksian Kristen di dalam dunia yang pluralistik. Jika missio Dei merupakan sumber mendasar dari kesatuan manusia dan keutuhan ciptaan maka tantangan misi bagi kita adalah menemukan cara-cara yang kontekstual di dalam menghidupi misi Allah di tengah-tengah kita dan menemukan kesatuan kita di tengah-tengah keragaman pemahaman kita akan misi.

Tantangan terkini di depan mata adalah isu-isu bersama yang mengemuka. Kita berhadapan dengan kepercayaan-kepercayaan lain, utamanya Islam di Indonesia. Kita juga memiliki tantangan tiga masalah akut di bangsa ini yaitu: korupsi, narkoba, dan kekerasaan terhadap anak dan perempuan. Dalam kaitan tantangan (untuk menyebut realitas) Islam, maka tidak perlu orang-orang Injili menjadi merasa bersalah dengan tekanan mereka akan penginjilan. Namun, kritik yang paling mengemuka adalah apakah benar penginjilan bertentangan dengan dialog? Jika kita memahami Injil sebagai Kabar Baik, maka pemberitaan Injil memperhitungkan pentingnya perenungan akan makna Kabar Baik ini. Ia tentunya kisah terindah di dalam sejarah bahwa Allah sekarang menyatakan diri-Nya dan menyapa manusia berdosa. Kabar Baik adalah panggilan kepada terang-Nya yang ajaib yang sekarang tersedia di dalam Yesus Kristus. Namun, dipahami bahwa konsekuensi dari pemberitaan Kabar Baik ini harusnya kesadaran yang bersifat sukarela menjadi pengikut Kristus. Itu berbeda dari sekedar mentargetkan orang menjadi Kristen.

Penulis sendiri berkeyakinan dalam kaitannya dengan dialog bahwa kita tidak mungkin mengajukan ide yang universal tentang Allah seperti yang dikemukakan oleh John Hicks, ketika kita berbicara tentang sikap kita terhadap kepercayaan lain. Jika Kristen berbicara tentang suatu dialog, ia tak memaksudkannya untuk mengakui ide Allah yang abstrak. Pastilah ada di dalam rangka Allah Tritunggal. Jika kepercayaan-kepercayaan lain menggunakan ungkapan alternatif untuk menggambarkan Allah, itu hak mereka. Tetapi mencapuradukkan menjadi salah. Maka, penginjilan akan menjadi jelas di dalam kerangka memperkenalkan narasi peristiwa-peristiwa Kristus (Christ-events) yaitu kelahiran, kematian, kebangkitan, dan kenaikan-Nya, sambil mengakui bahwa peristiwa-peristiwa itu ada di dalam rangka untuk membawa orang-orang mengenal Dia dan menjadi murid-Nya. Namun, kisah Allah di dunia tak dapat dibatasi. Allah memiliki kasih yang universal yang kepadanya memberi kesadaran sepenuh-penuhnya bahwa kita bukanlah hakim, tetapi pembawa Kabar Baik.

Dalam konteks di Indonesia, misi yang lebih holistik seperti di ataslah yang lebih Alkitabiah dan lebih merangkul.

Junifrius Gultom adalah dosen pascasarjana STT Bethel Indonesia; Alumni Doktor Misi dari Presbyterian University and Theological Seminary, Korea Selatan; dan Oxford Centre for Mission Studies, UK. Ia juga Pendeta Gereja Bethel Indonesia (GBI)

 

Komentar Facebook
https://warningtime.com/wp-content/uploads/2016/06/Junifrius-gultom.jpghttps://warningtime.com/wp-content/uploads/2016/06/Junifrius-gultom-150x150.jpgadminwarningtimeHomeMisi merupakan hakekat Allah sendiri. Misi bukanlah apa-apa yang dikerjakan oleh Gereja namun misi adalah misi Allah sendiri (missio Dei). IA-lah inisiator dari misi. Dalam kerangka teologis penting ini, memberikan kepada kita pemahaman bahwa adalah Allah yang berkepentingan untuk menggenapi apa yang menjadi kehendak-Nya di dunia. Maka, gereja dan...Mengungkap Kebenaran