Maruli Silaban, SH: Rumah Sakit Harus Berani Buka Data Vaksin Palsu
Terungkapnya vaksin palsu yang tersebar di berbagai daerah dan dipakai di banyak rumah sakit membuat semua pihak terbelalak. Padahal penyebaran vaksin palsu yang terindikasi sejak tahun 2003 ini tentu menjadi pertanyaan semua pihak dimana peran pemerintah, BPOM dan para tenaga medis dalam mengidentifikasi vaksi yang jelas ini sangat riskan kalau dipakaikan untuk generasi muda ke depan. Generasi ke depan mau jadi apa kalau untuk kekebalan tubuh saja sudah dipalsukan. Maruli Silaban salah satu orang tua yang anaknya lahir dan di vaksin di rumah sakit yang konon menggunakan vaksin palsu tersebut mengajukan gugatan.
Lalu apa langkah orang tua, masyarakat menyikapi adanya vaksin palsu ini. Memang pemerintah dalam hal ini pihak kepolisian sudah menetapkan orang-orang yang terlibat dengan pembuatan dan pengedaran vaksin palsu. Malah suami isteri ditangkap karena disangkakan pembuat vaksin tersebut.
Pertanyaan yang mengemuka bagaimana nasib anak-anak yang sudah menggunakan vaksin palsu ini. Hendaknya rumah sakit yang sudah menggunakan vaksin ini terbuka ke public siapa saja anak-anak yang memakai vaksi palsu agar bisa diambil langkah berikutnya. Namun hingga kini belum ada rumah sakit yang membuka data tersebut termasuk rumah sakit tempat anak Maruli memberikan vaksin. Untuk mengetahui langkah apa yang diambil Maruli berikut perbincangannya.
Bicara vaksi palsu seksi dan tidaknya dilihat darimana, kalau rumah sakit dan dokter itu tidak seksi. Namun ketika berbicara generasi anak bangsa ini jelas sangat menarik, kenapa sudah diatur dalam undang-undang bahwa seluruh anak bangsa dijamin negara. Termasuk di dalamnya bagaimana negara bertanggung jawab atas pengadaan vaksin ini. Lalu kemudian sesuai rilis teman-teman kesehatan bahwa ada sekitar 14 Rumah sakit dan ada dugaan sudah beredar sejak tahun 2003. Menjadi tanda tanya bagi kita semua, kok selama ini ngga ada konsen dengan persoalan ini. Karena pengguna vaksin ini masa depan bangsa. Menjadi soal bukan seperti menteri kesehatan yang ngomong tidak ada efek samping. Bagaimana tidak, vaksin itu kan menyangkut kekebalan tubuh kalau vaksinnya palsu bagaimana dengan kekebalan belum lagi fsikologi orang tua atas anak-anaknya bagaimana, itu berat sekali memikirkan apakah anaknya memakai vaksin palsu atau tidak? ini kan masalahnya.
Kemudian masalah vaksin ini tak ada masalah ngapaiin bangsa ini menghabiskan waktu mengurusi vaksin. Memang dalam hal ini pemerintah sudah merilis tetapi baginya tak cukup merilis itu tetapi pemerintah memerintahkan rumah sakit untuk membuka data dan bertanggung jawab. Badan POM tak bisa melempar begitu saja. Karena badan POM harus turun lapangan untuk menguji sampelnya. Lalu kenapa kami meminta RS betanggung jawab, ini jelas dalam UU RS diatur bahwa bertanggung jawab kepada seluruh yang ada di rumah sakit itu. Baik tenaga medis, karyawan, pasien dan pengadaan obat di RS, termasuk dokter juga harus bertanggung jawab. ”Bayangkan ketika kita di rumah sakit apa kata dokter kita ikuti suruh buka baju, miring kanan kiri dan seterusnya,” tandasanya. Dengan sikap itu maka sudah seharusnya masing-masing bertanggung jawab sesuai porsinya.
Menurut Maruli dokter sebagai seorang profesional wajar kita kejar, karena dokter harusnya tahu jenis apa vaksin yang akan diberikan untuk pasiennya. Dengan begitu dokter tidak boleh juga menyuntikan apa saja obat yang ada dirumah sakit, artinya dokter tidak boleh asal-asalan memakai obat yang mau dikomsumsi pasiennya. ”Saya sendiri korban dari rumah sakit di mana anak saya 2013 lahir di salah satu rumah sakit yang memakai vaksin palsu itu,’ saksinya.
Kalau vaksin dan apapun namanya bisa dipalsukan menandakan bahwa bangsa ini masih lemah pengawasannya. Memang dalam tataran perencanaan sudah cukup bagus tetapi lemah di tataran implementasi lapangan. Badan POM itu jangan saja nguji di labotarium tetapi harus juga melakukan pengawasan di lapangan. Jangan pula setelah kejadian masing-masing mengklaim sebagai korban, rumah sakit jadi korban, dokter jadi korban, lalu kami sebagai orang tua anak sebagai apa dong, terang Maruli yang berprofesi lawyer ini.
Untuk itu langkah yang kami ambil adalah menuntut pihak Rumah sakit, pihak kementerian kesehatan dan badan POM atas pemakaian vaksin palsu itu. Perkara konon katanya yang dipalsukan itu vaksin dari luar negeri atau tidak. Bagi pasien tidak tahu, karena apa yang disarankan dokter itulah yang dipakai termasuk vaksin ini. Tuntutan kami bukan saja serta merta tetapi sudah terlebih dahulu dengan baik-baik dtang ke rumah sakit agar membuka semua data pasien terutama yang berkaitan dengan pemakaian vaksin. Namun hingga kini rumah sakit tak mau membuka data tersebut.
Dan anehnya pihak rumah sakit justru mengundang dinas kesehatan TNI/Polri. Jadi aneh tuntutan kami dijawab dengan mendatangkan TNI/Polri, padahal kan kami korban bukan penjahat ataupun teroris. Kemudian kementerian membuat satgas pemakaian vaksin palsu. Bagi kami ini bukan jawaban maka langkah yang ditempuh adalah melaporkan untuk memperoleh keadilan atas nasib anak-anak kami dan fsikologi dari orang tua anak. Kalaupun akhirnya kandas ini membuktikan bahwa keadilan itu hanya pihak yang kuat. Dan bangsa ini benar adalah bangsa yang bobrok. Kenapa yang bertanggungjawab pengadaan vaksin itu adalah kementerian kesehatan sedangkan yang menguji keabsahan itu adalah badan POM.
Pertanyaannya kalau vaksinya tidak ada itu yang bertanggung jawab adalah pemerintah. Kalau negara membuat pansus fungsinya harus jelas, meneliti adakah kejahatan obat atau tidak. Lalu bagaimana kalau dari tahun 2003, bagaimana bisa membuktikan hanya 14 RS yang menggunakan vaksin palsu,. “Padahal dugaan saya ada rumah sakit negeri yang memakai,” tandasnya. Jadi tuntutannya adalah membuka data untuk memastikan saja apakah anaknya memakai vaksin palsu atau tidak, kalau memang tidak pasti bersyukur. Dan kalau memang memakai akan segera diadakan general chek up. Dan semua ini rumah sakit harus membuka data.
Semua data terbuka dari mana vaksin diambil, siapa saja yang pernah memakai vaksin itu dan siapa supplier yang menghantar barang dan sebagainya. Nah ini yang terjadi hanyalah sekedar pernyataan kami hanya memakai vaksin sejak 2015 saja, tanpa disertai penjelasan lebih lanjut. Untuk itu pihak rumah sakit sebagai penyelengara harus bertanggung jawab. Untuk itu pemerintah harus tegas memberikan sanksi ke rumah sakit yang berindikasi main kalau perlu cabut. Presiden Jokowi kan programnya Indonesia pintar dan Indonesia sehat kalau kejadian seperti ini bagaimana menjadikan Indonersia sehat kalau vaksin aja palsu. Jokowi sebagai presiden harus tegas menindak. Ini generasi bangsa, bagaimana bisa terjadi kejahatan sistematis yang mengncam generasi muda ini harus diungkang tuntas.
Leave a Reply