Ibunda Sahat Sinaga Berpulang: “SELAMAT JALAN MAMAKU”
“Selamat jalan Mamaku.” Demikianlah status di Facebook Sahat HMT Sinaga, mantan Ketua Umum
Gerakan Angkatan Muda Kristen (GAMKI) dan Sekretaris Jenderal Partai Damai Sejahtera (PDS)
menjelaskan atas wafatnya ibunda B boru Sirait (Op Tasya Boru). Dipanggil Bapa di Sorga, dini hari,
pukul 02.42 wib. Kamis, 26 Januari 2017 pada usia 78 tahun di Rumah Sakit Cikini, Jakarta Pusat. Tak
berapa lama jenasah ibunda senior GMKI ini kemudian dibawa pulang dan disemayamakan di
rumahnya beralamat di Perumahan Kemang Pratama 2, Jalan Kemang Amarilis 2, Kota Bekasi.
Tampak Sahat masygul. Tak berhenti meneteskan air mata atas kepergian ibundanya. Amat
manusiawi berduka jika orangtua atau orang yang kita kasihi meninggal. Tak kepalang, kematian
orangtua mungkin merupakan salah satu hal yang paling memilukan, sebab semua kenangan masa
lalu bersamanya mengelayut, sehingga rasa sedih yang amat sangat. “Mama orang yang sangat
berharga, dia yang melahirkan, merawat dan mendidik kita sampai tumbuh dewasa. Dan sampai kita
menjadi orang yang sukses, bisa menggapai impian.”
Begitu sampai di rumah duka, kebaktian penghiburan pertama langsung digelar pimpinan GKPI
Perumnas II Bekasi, pendeta, majelis dan beberapa jemaat. Juga tampak yang sudah datang melayat
daripihak keluarga terdekat, baik dari keluarga Sinaga dan keluarga Sirait. Terlihat juga para tetangga
yang turut menyambut pelayat, seperti Saor Siagian, pengacara.
Almarhumah meninggalkan 8 keturunan. Dua putra, dua menantu, dan empat cucu. Anak pertama
Sahat, anak kedua Dr Budiman Sinaga, dosen di Universitas Nommensen, Medan. Rencananya besok
akan digelar acara adat Batak, acara saurmatua untuk almarhumah yang dikategorikan kematian
yang hampir purna dalam budaya Batak. Oleh karena almarhum meninggal, anak-anak sudah
menikah dan memberi cucu. Setelah prosesi adat Batak, jasad almarhumah akan dikebumikan,
Sabtu, 28 Januari 2017, di sebelah pusara suaminya, (alm) Penatua S A Sinaga (Op Tasya Doli) di TPU
Pondok Kelapa, Jakarta.
Saat kebaktian, pendeta dalam renungannya mengajak keluarga untuk senantiaasa bertahwakal
menghadapi kedukaan ini. “Selamat ini almarhumah, ibu yang kita kasihi ini sudah sakit. Walau jelas,
kita secara manusia kita belum rela kepergiannya. Tetapi, yang pasti Tuhan lebih tahu yang terbaik
untuk kita.” Dan pihak gereja pun juga memberi kesaksian, menggenal benar sosok almarhumah,
sebagai sosok orangtua yang baik.
Orangtua teladan
Keteladanannya salah satu adalah bisa mendidik kedua anaknya menjadi orang yang berarti untuk
orang banyak. Sahat dan Budiman keduanya dikenal sebagai pigur yang telah berbuat bagi
kemaslahatan banyak orang. Sebagai aktivis Kristen dan pendidik.
Hal senada ditambahkan Tobing, salah satu majelis mengatakan, “Betapa orangtua ini adalah
orangtua yang telah menunjukkan keteladan. Tak pernah mengkarapkan anaknya kaya tetapi
berguna untuk orang lain. Terakhir saat pihak gereja datang ke rumah sakit tak ada tanda-tanda
beliau sudah akan dipanggil. Tentu kita bersedih dimuliakan Tuhan ibunda Penatua Sahat Sinaga,”
ujar majelis gereja senior di GKPI Perumnas II, Bekasi ini.
Sahat sendiri selain sebagai penatua juga salah seorang anggota majelis pusat GKPI, gereja yang
berkantor sinode di Pematang Siantar, Sumatera Utara. Sahat menjelaskan, sebelumnya ibundanya
sudah sakit, cuci darah, beberapa tahun ini.
Beberapa tahun ini, tradisi dari keluarga Sahat selalu menggelar kebaktian syukur untuk ibundanya
setiap tanggal 28 Desember, atas tanggal dan bulan kelahiran Op Tasya Boru. Dan, 28 Desember
2016 yang lalu merupakan kebaktian syukur terakhir. Hanya sehari setelah ulangtahun itu,
almarhumah langsung sakit dan segera dibawa ke rumah sakit. Sahat sendiri dan keluarga juga mesti
merelakan kebaktian akhir tahun di Rumah Sakit Cikini. Sebelum menutup mata, selama 28 hari
perjuangan almarhumah bergulat melawan penyakit, hingga menghembuskan nafas terakhir.
“Tuhan mengajariku, tentang kehidupan penuh kedamaian dan kesabaran, terus berpengharapan
kepada Tuhan yang empunya otoritas kuasa atas manusia dan mahkluk-mahkluk lain dalam alam
semesta ini,” tutur Sahat.
Dia sendiri walau lahir di Cimahi, Bandung memahami benar filosofi Batak “Natua-tua mi do Debata
Natarida.” Artinya, orangtuamulah representasi Tuhan yang tampak. Secara kasat mata tak mungkin
bisa melihat Tuhan, maka untuk melihatnya menghormati orangtua. Filosofi itu dihidupinya, bahwa
orangtua harus dihormati dan diberikan pelayanan yang terbaik di masa tua hingga hayatnya.
Di hari tua ibundanya, Sahat mengambil ahli tanggung jawab sebagai anak pertama, melayani,
merawat ibunya yang tinggal bersama mereka serumah. Sesekali adiknya Budiman dan istrinya juga
datang dari Medan untuk menjeguk ibu mereka.
Penghormatan pada orangtua pun juga ditunjukkan istri Sahat, Rita boru Sitorus (Kabag Hubungan
Antar Lembaga Dewan Pers) juga sosok parumaen atau menantua yang hebat. Benar-benar
memperlakukan mertuanya sebagai orangtuanya. Selama almarhumah sakit, tak pernah menjadi
masalah dalam keluarga ini, mereka memberi yang terbaik merawat orangtua hingga hayatnya.
Sahat sendiri selalu setia, bahkan mengorbankan pekerjaan, menggutamakan ibundanya, demi
untuk mendampingi ke rumah sakit. Kesedihan Sahat tentu bukan kepalangan. Jelas bukan karena
penyesalan belum memberikan yang terbaik. Kesedihannya hanya mengingat kebaikan ibundanya
yang menunjukkan keteladanan pada mereka, keturunannya.
Akhirnya, kami, segenap anggota Persatuan Wartawan Nasrani Indonesia (PEWARNA) mengucapkan
turut berbelasungkawa yang sedalam-dalamnya untuk ibunda abang kami Sahat Sinaga, yang juga
penasihat PEWARNA yang telah berkalang tanah. Kematian orang yang kita kasihi membawa duka
yang dalam. Namun, sebagaimana Paulus mengatakan, hidup bagiku Kristus mati keuntungan.
Selamat jalan inang. (Hojot Marluga dan Pewarna Indonesia)
Leave a Reply