BASUKI TJAHAYA PURNAMA
Keteguhan dan konsistensi. Dua hal yang pantas disandang Ahok selama ini. Meskipun dipaksakan jadi tersangka dan bahkan “dikriminalisasi” putra Bangka yang satu ini, tetap tegar menghadapi setiap sidang. Lagi pun di sela- sela persidangan dia tetap kampanye. Sekalipun terus dijegal dan berusaha dihentikan.
Konsistensi dalam bersikap, ditunjukkannya bahkan sejak terjun berpolitik yakni dari anggota DPRD, Bupati, DPR RI, Wakil Gubernur dan Gubernur. Juga dalam hal pembrantasan korupsi, memihak rakyat kecil dan membangun Indonesia.
Pria bernama lengkap Basuki Tjahaya Purnama (BTP) tak heran menjadikan inisial namanya juga menjadi tagline dalam kampanye yaitu Bersih, Transparan dan Profesional (BPT). Tak akan ada yang bisa menyangkal, di tangannya DKI Jakarta telah mengalami perubahan. Impiannya menjadikan Jakarta menjadi ibukota kelas dunia perlahan mulai berbenah. Bersama Jokowi, yang kemudian digantikannya mereka bergerak membangun Jakarta. Membangun MRT, LRT, memodernisasi TransJakarta dan mengadakan ruang hijau dengan dibangunnya RTPRA bekerjasama dengan swasta yang kini jumlah ratusan.
Sikap kerasnya menormalisasi sungai dengan menggusur paksa tetapi tetap menyediakan rusun yang layak, tetap aja dipandang sinis oleh lawannya. Bahkan ini menjadi amnusi senjata dipakai pesaingnya menghentikannya. Tersedianya KJP dan KJK telah membuat warga DKI dimanjakan. Apalagi kini warga miskin dan PNS gratis naik bus way, juga karena keberpihakannya bagi warga.
Pertimbangan itu pula yang membuat puluhan profesor dan ratusan doktor membela serta memasang badan untuk Ahok. Mereka menjamin agar Ahok tak ditahan dengan jaminan diri mereka. Meski berprestasi tapi banyak juga tak suka padanya. Bahkan ada yang berusaha menjeratnya lewat pemebelian RS Sumber Waras hingga Reklamasi. BPN mementahkan ganjalan di RS dan semua tahu kebijakan reklamasi berdasarkan kepres bahkan dibuat dijaman Soeharto? Lalu kenapa mereka getol menjatuhkan Ahok?
Menurut hemat penulis, setidaknya ada beberapa alasan, boleh setuju atau tidak. Pertama, Ahok lancang karena dinilai ambisius ingin jadi RI 2 dan bahkan RI 1 seperti sering diucapkannya, Sikap keras ini membuat lawan politiknya gerah dan merespons keras dengan berusaha dengan segala cara untuk menghentikannya. Sekarang saatnya mumpung lagi gubernur sebelum semakin digandrungi rakyat. Yang kedua, masih berkaitan dengan yang diatas, latar belakang Ahok yang tripple minoritas. Ahok seorang keturunan Tionghoa meski lahir dan besar di Indonesia dia tetap “keturunan.” Kemudian Ahok seorang Kristen yang juga minorutas di Indonesia. Dan terakhir Ahok bukan pribumi. Anehnya, penentang utama Ahok ada sebagian dari warga “keturunan,” bukan pribumi, itu terlihat jelas dari para pendemo. Jadi ini bukan soal pribumi dan non pribumi.
Inilah akar masalah Indonesia. Ketika simbol keagamaan yang secara internasionalis bisa mengalahkan simbol keindonesiaan yang nusantara dan bahkan meminggirkan simbol rasa kedaerahan atau primordial. Artinya di Indonesia ini, persaudaraan keagamaan yang lintas dunia berada di level atas dan mengalahkan rasa nasionalis kita sendiri. Itu terbukti masih ada tuntutan mengubah NKRI menjadi negara agama. Persoalan yang belum tuntas di dalam bangsa ini.
Pemerintah harus bertindak tegas sebelum semakin mengancam keutuhan NKRI. Pelajaran Uni Soviet, Yugoslavia, Cekoslakia dan peristiwa Timur Tengah harus menjadi pelajaran. Momentum tepat. Usaha merevisi UU Ormas mungkin pijakan pertama. Kita cinta Indonesia yang damai.
Kembali ke Ahok, bagaimanapun Ahok telah merevolusi administrasi dan birokrat standar pelayanan swasta yakni mudah, cepat dan nyaman. Ahok juga satu-satunya membut terobosan yang satu jam setiap pagi jam kerja menerima langsung keluhan warga siapapun dia.
Paparan di atas bukanlah asal ngomong, tetapi pengalaman empat kali ketemu dan berdiskusi dengan Ahok. Empat tahun lalu ketika Ahok masih jadi anggota DPR semua yang dilakukan sekarang sudah diomongkan Ahok kepada penulis, bukti konsistennya.
Pilkada DKI tinggal menghitung hari, membicarakan prestasi Ahok bukan berarti mengecilkan kehebatan Agus dan Anis. Kedua juga berprestasi tidak kalah dengan Ahok bahkan mereka mungkin setara.
Kembali lagi, semua pilihan tergantung kepada pemilik suara. Yang pasti siapapun yang terpilih mesti diterima dengan baik dan berharap bisa memajukan Jakarta lebih baik dari yang diraihnya gubernur sekarang. Selamat memilih. Peace. (Junix)