Dua hari ini, ramai dibicarakan diberbagai media, soal eksekusi Jaksa Penuntut Umum, terhadap putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara, atas nama terdakwa Sdr. Ahok yang masih berstatus Banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.

 

Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara, telah menjatuhkan putusan 2 ( dua ) tahun penjara terhadap  terdakwa kasus Dugaan  penodaan agama Basuki Tjahya Purnama alias  “Ahok”.

 

Putusan yang dibacakan oleh Majelis Hakim, di Auditorium Kementerian Pertanian Jakarta Selatan tersebut, ternyata telah memicu pro kontra dimasyarakat, salah satu penyebabnya vonis yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim, dinilai  lebih berat dari tuntutan JPU, namun bagi  pihak pelapor / korban dugaan Penistaan, dirasakan sudah tepat dan adil menurut hukum, walaupun mereka menilai masih lebih ringan dibanding terpidana penista agama lainnya.

 

Jaksa Penuntut Umum, telah  menjerat Sdr.Ahok dengan dua dakwaan alternatif, yaitu :  pasal 156 KUHP  dan pasal 156a KUHP,  namun, dalam tuntutan JPU, pada tanggal 20 April 2017 yang lalu, JPU   menjerat Sdr. Ahok hanya dengan ketentuan  Pasal 156 KUHP,  dan memohom  majelis hakim untuk menghukum Sdr.  Ahok dengan pidana penjara 1 tahun,  dengan masa percobaan selama 2 (dua ) tahun.

 

Majelis Hakim, justeru memvonis Ahok dengan Pasal 156a KUHP,  dan menjatuhkan putusan  penjara selama 2 (dua)  tahun, karena “Sdr. Ahok Dinilai Telah Terbukti Secara Sah Dan Meyakinkan Melakukan Tindak Pidana Penodaan Agama Islam”, lalu Majelis Hakim “Menjatuhkan Pidana Kepada Terdakwa Oleh Karena Itu Dengan Hukuman Penjara Selama Dua Tahun Penjara, Dengan Disertai “ Perintah Supaya Terdakwa Ditahan”.

 

Bahwa  Majelis Hakim, secara hukum, bisa menghukum Sdr. Ahok lebih berat dari tuntutan JPU, karena “Hakim Tidak Terikat Pada Tuntutan, namun Majelis Hakim Wajib Terikat Pada Surat Dakwaan JPU Sebagai Acuan Dalam Pemeriksaan, faktanya, Majelis  Hakim masih tetap mengacu pada surat dakwaan dan fakta persidangan, dalam membuat pertimbangan dan putusan, Sehingga Secara Hukum, Putusan Hakim Tersebut Sudah   Tepat Dan Sah Menurut Hukum.

 

Yang menjadi pertanyaan adalah,  Bolehkah Jaksa Penuntut Umum Mengeksekusi Putusan Majelis Hakim, Yang Belum Berkekuatan Hukum Tetap / Pasti  (Inkrach Van Gewijsde ) ?

 

Menurut Ketentuan Pasal 193 ayat (2) huruf a KUHAP :  “Pengadilan dalam menjatuhkan putusan, jika terdakwa tidak ditahan dapat memerintahkan supaya terdakwa tersebut ditahan, apabila dipenuhi ketentuan Pasal 21 dan terdapat alasan tepat cukup untuk itu”

 

Pasal 21 ayat (1) KUHAP,  perintah penahanan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dilakukan dalam hal:

  1. adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka akan melarikan diri,
  2. adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka akan merusak atau menghilangkan barang bukti
  3. adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka akan mengulangi tindak pidana.

 

Bahwa  ketiga alasan  di atas lazim disebut sebagai alasan subyektif,  Sedangkan alasan obyektif diatur dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP yang menyatakan bahwa penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan/atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal:

  1. tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih;
  2. tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (3), Pasal 296, Pasal 335 ayat (1), Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378, Pasal 379 a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480 dan Pasal 506 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Pasal 25 dan Pasal 26 Rechtenordonnantie (pelanggaran terhadap Ordonansi Bea dan Cukai, terakhir diubah dengan Staatsblad Tahun 1931 Nomor 471), Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4 Undang-undang Tindak Pidana Imigrasi (Undang-undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955, Lembaran Negara Tahun 1955 Nomor 8), Pasal 36 ayat (7), Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47 dan Pasal 48 Undang-undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3086).

 

Bahwa menurut ketentuan pasal Pasal 156a KUHP :

Dipidana dengan pidana penjara selama-lumanya 5 ( lima )  tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:

  1. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;

 

Dari uraian ketentuan pasal 156a KUHP diatas, berarti dimungkinkan Sdr. Ahok untuk  ditahan, karena  memenuhi ketentuan dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP dan ada keadaan-keadaan sebagaimana terdapat dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP.

 

Bahwa akan tetapi, Karena Perintah Atau Penetapan Penahanan Itu Ada Dalam Amar Putusan Majelis Hakim, “Maka Dengan Adanya Pernyataan Banding Oleh Terdakwa Terhadap Putusan Dimaksud”, Maka Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara Itu, Telah Gugur Atau Tidak Berlaku Lagi, Hingga Putusan Yang Lebih Tinggi Berupa Putusan Banding dan/atau  Kasasi Dijatuhkan (Inkrach), sebagai akibat adanya Upaya Hukum Banding Oleh Terdakwa Ahok.

 

Upaya Hukum adalah  Hak Terdakwa yang dijamin oleh Undang-undang. Bahwa menurut Pasal 196 ayat (3) KUHAP, terdapat ketentuan bahwa, “Segera sesudah putusan pemidanaan diucapkan, Hakim Ketua Sidang Wajib memberitahukan kepada terdakwa tentang segala yang menjadi haknya, yaitu:

 

  1.       Hak segera menerima atau menolak putusan;
  2.      Hak mempelajari putusan;
  3.       Hak meminta penangguhan putusan untuk mengajukan grasi dalam hal menerima putusan;
  4.      Hak mengajukan banding”

 

Upaya Hukum adalah upaya yang dapat dilakukan oleh pihak yang berkepentingan terkait dengan adanya putusan pengadilan Tertentu. Bahwa Upaya hukum tersebut dilakukan dengan maksud dan  tujuan KUHAP, untuk mengoreksi dan meluruskan kesalahan yang terdapat dalam putusan yang telah dijatuhkan, baik putusan tersebut telah memiliki kekuatan hukum tetap maupun belum berkekuatan hukum tetap.

 

Ada Terdapat dua macam upaya hukum, yaitu upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Adapaun Upaya Hukum Biasa terdiri dari:

  1. Perlawanan (Verzet), upaya hukum yang dapat dilakukan terkait dengan putusan sela;
  2. Banding, adalah upaya yang dapat dilakukan agar putusan peradilan tingkat pertama diperiksa kembali dalam tingkat banding;
  3. Kasasi, adalah upaya hukum yang dapat dilakukan terhadap putusan pengadilan lain selain Mahkamah Agung.

 

Adapun Upaya Hukum Luar Biasa adalah upaya hukum yang dapat diajukan terhadap putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap, yang  terdiri dari SBB:

  1. Kasasi demi kepentingan hukum, yaitu kasasi yang hanya dapat diajukan oleh Jaksa Agung RI dan tidak akan berpengaruh terhadap perkara yang sedang berlangsung;
  2. Peninjauan Kembali, upaya hukum yang diajukan terkait adanya keadaan baru yang diduga berpengaruh apabila diajukan pada saat persidangan berlangsung.

 

Bahwa Menurut Ketentuan Pasal 67 KUHAP menyebutkan, “Terdakwa atau Penuntut Umum berhak untuk minta banding terhadap putusan pengadilan tingkat pertama, itu Berati Sdr Ahok berhak memohon Upaya hukum Banding Ke Pengadilan tinggi DKI Jakarta.

 

Bahwa yang dikecualikan oleh KUHAP adalah  terhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan dalam acara cepat”. Berdasarkan Pasal 67 tersebut, maka yang tidak dapat diajukan pemeriksaan banding adalah:

  1.      Putusan bebas;
  2.      Putusan lepas dari segala tuntutan hukum;
  3.      Putusan dalam acara cepat.

 

Adapun tujuan daripada Upaya Hukum pemeriksaan banding adalah SBB :

  1.       Memperbaiki kekeliruan putusan tingkat pertama;
  2.      Pemeriksaan baru untuk keseluruhan perkara tersebut;
  3.       Pengawasan terciptanya keseragaman penerapan hukum.

 

Bahwa Putusan pengadilan dalam tingkat banding dapat berupa putusan SBB :

  1. Menguatkan putusan pengadilan negeri, menguatkan putusan pengadilan negeri terdapat beberapa bentuk diantaranya, menguatkan putusan secara murni, menguatkan putusan dengan tambahan pertimbangan atau menguatkan putusan dengan alasan pertimbangan lain;
  2. Mengubah atau memperbaiki amar putusan pengadilan negeri;
  3. Membatalkan putusan pengadilan negeri, membatalkan putusan pengadilan negeri dengan mengadakan putusan sendiri, sebagaimana dimaksud dalam UU RI Nomor 8 khususnya  Pasal 241 KUHAP.

 

Bahwa dengan adanya kemungkinan bahwa Putusan tingkat banding bisa berupa : “Mengubah Atau Memperbaiki Amar Putusan Pengadilan Negeri Atau Membatalkan Putusan Pengadilan Negeri, Membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Dengan Mengadakan Putusan Sendiri” Maka Tindakan Jaksa Penuntut Umum : “Langsung Mengeksekusi Perintah Penahan Dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Uatara” Adalah Merupakan Suatu Kekeliruan Yang Nyata Dan Merupakan Perbuatan Melawan Hukum.

 

EKSEKUSI PUTUSAN MAJELIS HAKIM /  PENGADILAN, MENURUT UNDANG-UNDANG RI NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG KUHAP SBB :

 

Terkait pelaksanaan eksekusi terhadap putusan perkara pidana harus lebih dahulu putusan tersebut, telah berkekuatan hukum tetap, Vide Pasal 270 UU RI No. 8 tahun 1981  tentang KUHAP yang berisi ketentuan SBB :  “Pelaksanaan Putusan Pengadilan Yang Telah Memperoleh Kekuatan Hukum Tetap Dilakukan Oleh Jaksa, Yang Untuk Itu Panitera Mengirimkan Salinan Surat Putusan Kepadanya.”

 

Bahwa Mengenai waktu pelaksanaan putusan, Pasal 197 ayat (3) KUHAP mengatur secara limitatif bahwa “putusan dilaksanakan dengan segera menurut ketentuan UU ini”, Sehingga apabila Pasal 197 (3) KUHAP ini dihubungkan dengan Pasal 270 KUHAP, maka kata ”segera” disini dapat diartikan segera setelah menerima salinan putusan dari Panitera. Hal ini sejalan juga dengan isi Surat Edaran Kejaksaan Agung B-128/E/3/1995 tentang Tugas dan tanggung jawab Jaksa selaku Eksekutor Putusan Pengadilan.

 

Berdasarkan ketentuan ini maka Dasar Eksekusi Bagi Jaksa Penuntut Umum Adalah “Salinan Putusan”, Bukan “Petikan Putusan” Seperti Dalam Perkara Sdr Ahok Ini. Bahwa salinan putusan merupakan turunan putusan yang telah diminutasi dan berisi seluruh ketentuan sebagai mana dimaksud Pasal 197 ayat (1) KUHAP. Putusan resmi saja apabila tidak memenuhi dan memuat salah satu dari 12 (dua belas) komponen dari ketentuan didalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP ini dinyatakan batal demi hukum.

 

Bahwa petikan putusan hanya berisi intisari  dari putusan majelis hakim dan hanya memuat beberapa komponen dari ketentuan 197 ayat (1) KUHAP, maka dengan demikian  Pelaksanaan Eksekusi Terhadap Perkara Pidana Yang Belum Berkekuatan Hukum Tetap Belum Bisa Dilakasanakan, Sehingga Demi Hukum Harus Ditolak Dan Batal Demi Hukum, bahwa yang  telah berkekuatan hukum tetap saja  harus berdasarkan salinan surat putusan resmi, bukan hanya didasarkan pada petikan atau amar putusan semata.

 

Menurut  Pasal 226 ayat (1) KUHAP menentukan bahwa : “petikan surat putusan pengadilan diberikan kepada terdakwa atau penasihat hukumnya segera setelah putusan diucapkan”, ini jelas mengatur bahwa petikan putusan hanya diberikan oleh pengadilan kepada terdakwa atau penasehat hukumnya saja! Sedangkan JPU bukanlah pihak yang ikut menerima dan diberikan petikan putusan oleh pengadilan.

 

Bahwa jika mengacu  pada SEMA No 1 Tahun 2011 tentang Perubahan SEMA No 2 Tahun 2010 tentang Penyampaian Salinan Putusan dan Petikan Putusan. Angka 3-nya menyebutkan petikan putusan perkara pidana diberikan kepada terdakwa, penuntut umum, dan rumah tahanan atau lembaga pemasyarakatan segera setelah putusan diucapkan.

 

Bahwa akan tetapi, menurut angka 2 SEMA ini, menyebutkan untuk perkara pidana pengadilan wajib menyampaikan salinan putusan dalam jangka waktu paling lambat 14 hari kerja sejak putusan diucapkan kepada terdakwa/penasihat hukumnya, penuntut umum, kecuali untuk perkara cepat diselesaikan menurut / sesuai ketentuan KUHAP.

 

Bahwa ketentuan hukum inilah yang mengatur,  bahwa Jaksa tidak mungkin dapat melakukan eksekusi terhadap sebuah perkara pidana berdasarkan petikan putusan, apalagi masih berstatus Banding, Sebab JPU,  bukanlah bagian dari pihak yang menerima petikan putusan itu sebagaimana diatur oleh Pasal 226 ayat (1) KUHAP.

 

Bahwa menurut  Pasal 226 ayat (2) KUHAP secara jelas mengatur: ”salinan surat putusan pengadilan diberikan kepada penuntut umum dan penyidik, sedangkan kepada terdakwa atau penasihat hukumnya diberikan atas permintaan”, biasanya dengan permohonan tertulis kepada Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang.

 

Bahwa Ketentuan Pasal 226 ayat (2) KUHAP ini, merupakan kata kunci bagi JPU untuk bisa melaksanakan ketentuan  Pasal 270 KUHAP,  sehingga JPU  bisa  melaksanakan eksekusi Putusan Pengadilan hanya berdasarkan salinan putusan, tanpa salinan JPU tidak bisa eksekusi / tindakannya melawan hukum / UU RI Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP.

 

Bahwa menurut Pasal 197 KUHAP :

 

(1) Surat putusan pemidanaan memuat:

  1. kepala putusan yang dituliskan berbunyi: “DEMI KEADILAN BERDASARIKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”;
  2. nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa;
  3. dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan;
  4. pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat-pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa;
  5. tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan;
  6. pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa;
  7. hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal;
  8. pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan;
  9. ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti;
  10. keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan di mana letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap palsu;
  11. perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam’tahanan atau dibebaskan;
  12. hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus dan nama panitera;

(2) Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, i, j, k dan I pasal ini mengakibatkan putusan Batal Demi Hukum;

(3) Putusan dilaksanakan dengan segera menurut ketentuan dalam undang-undang ini.

 

Jadi Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara, sudah tepat, sebab perintah penetapan Terdakwa masuk tahanan, adalah suatu bentuk formalitas Putusan,  akibat terdakwa Sdr. Ahok Menurut majelis hakim, telah terbukti secara sah dan meyakin, bersalah melakukan penodaan agama, sebab Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, i, j, k dan I pasal ini, adalah akan  mengakibatkan putusan Batal Demi Hukum, bahwa yang bermasalah adalah adanya eksekusi JPU atas putusan, pada saat Sdr. Ahok Masih berstatus  Banding.

 

Bahwa karena  terdakwa, mengajukan Upaya Hukum  Banding Ke Pengadilan  Tinggi DKI Jakarta, Maka perintah majelis hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta utara, sudah tidak berlaku lagi untuk dijalankan, termasuk yang namanya perintah penahanan terhadap terdakwa Sdr. Ahok”.

 

Bahwa ketika majelis hakim telah selesai  membacakan amar putusannya, dan sdr. Ahok telah menyampaikan secara lisan kepada hakim kalau dirinya mengajukan banding, maka Ahok seharusnya langsung membuat dan memberikan surat kuasa banding kepada penasihat hukumnya, kemudian Sdr Ahok dan Kuasanya maju ke ruang panitera pidana, untuk membuat dan menandatangani serta mengajukan akta pernyataan banding.

 

Bahwa  setelah Sdr. Ahok berada diruang panitera pidana, dan telah  secara tertulis mengajukan upaya hukum banding atau akta banding itu sudah selesai dibuat dan ditandatangani serta diajukan untuk diregister oleh Panitera pidana, akan tetapi  JPU (Jaksa Penuntut Umum) masih tetap memaksa terdakwa Sdr. Ahok,  untuk dibawa ke Rutan Cipinang untuk ditahan, maka Penasihat Hukum Terdakwa Sdr. Ahok, “ Wajib Menanyakan Sprint (Surat Perintah) Atau Penetapan Penahanan Terhadap Terdakwa Yang Dikeluarkan Oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta”,  Jika Tidak Ada Penetapan Maka Harus Ditolak Dan Dilawan secara Hukum.

 

Bahwa ketika upaya banding itu sudah dibuat secara tertulis saat itu juga, maka Perintah Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Untuk Menahan Terdakwa Ahok,  Secara Otomatis Telah  Gugur Dengan Sendirinya, akibat Adanya Upaya Hukum Banding Terdakwa Itu, Sebab Kewenangan Majelis Hakim Pada  Pengadilan Negeri Jakarta Utara Itu, Seketika  Telah Beralih  Ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, Ketika Upaya Hukum  Banding Telah  Dibuat Dan Disampaikan Secara Tertulis”

 

Intinya, Penahanan Terdakwa Ahok, Oleh JPU Adalah Cacat Juridis Dan Bersifat Melawan Hukum, Sehingga Demi Hukum Harus Ditolak Dan Dilawan.

 

Demikian Pendapat Penulis / Lulusan Terbaik FH UKI.

Advokat Kamaruddin Simanjuntak,S.H., Jakarta.

 

Komentar Facebook
https://warningtime.com/wp-content/uploads/2017/05/kkk.jpghttps://warningtime.com/wp-content/uploads/2017/05/kkk-150x150.jpgadminwarningtimeInspirasiDua hari ini, ramai dibicarakan diberbagai media, soal eksekusi Jaksa Penuntut Umum, terhadap putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara, atas nama terdakwa Sdr. Ahok yang masih berstatus Banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.   Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara, telah menjatuhkan putusan 2 ( dua ) tahun penjara terhadap  terdakwa kasus...Mengungkap Kebenaran