JAKARTA-Yayasan Komunikasi Indonesia (YAKOM) menyelenggarakan diskusi kebangsaan dalam rangka memperingati Hari Kebangkitan Nasional dengan tema: Membendung Paham Radiklisme di Tengah Kehidupan Berbangsa dan yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, Selasa, 15/05/2017 di kantor YAKOM Indonesia, Matraman 10, Jakarta Timur.

Acara yang berlangsung pukul 16.00 ini menampilkan narasumber M Qodari (Direktor Indobarometer), Kartika Nur Rokhman (Ketua Umum PP KAMMI), Abdul Gophur (Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategi Bangsa NU) dan Sahat Sinurat (Ketua Umum PP GMKI). Diskusi ini dipandu Dr Bernard Nainggolan yang juga Ketua YAKOM Indonesia.

Sebelumnya, Ketua Dewan Pembina YAKOM Indonesia, Sabam Sirait menyatakan bahwa sepanjang Senen hingga Jatinegara adalah markas dari semua partai politik yang ada di Indonesia. Karena itu, diskusi yang dilakukan di bekas kantor Parkindo menjadi penting mengingat keberadaannya.

“Saudara-saudara pesan saya, jaga republik ini. Jangan sampai berulang-ulang saya menangis untuk republik ini. Yang muda harus mempertahankan. Saya juga pernah bertemu dengan Gus Dur membicarakan siapa yang harus menjaga republik Indonesia. Kalian  yang muda harus menjaganya,” pesan tokoh nasional ini.

Menurut M Qodari kejadian akhir ini diakui ada keterbelahan di sesama anak bangsa.  “Kita terbelah dengan hal yang biasa. Dulu pernah tahun 1965, kita mengalaminya. Saya optimis perjalanan bangsa ke depan akan  baik,” tuturnya.

Setidaknya menurut survei yang dilakukannya bahwa dua ormas muslim terbesar di Indonesia yaitu NU dan Muhammadyah  masih moderet. Selain itu, TNI sebagai pilar keamanan sampai hari ini masih taat kepada Pancasila dan merah putih.

Diakuinya, bahwa memang pemicu adanya perpecahan tidak terlepas dari masalah kesenjangan ekonomi yang besar. Kalau ditanya ini salah siapa? Tentu saja bukan salah Jokowi karena baru 2.5 tahun menjabat.

“Memang ada 1 persen yang mengusai 50 persen dari kekayaan Indonesia. Apalagi dari 100 persen orang kaya hanya kurang 10 persen dari warga lokal.  Ini menimbulkan perasaan sensitif dan mudah tersinggung. Tetapi tentu saja ini bukan salah Jokowi, karena baru menjabat 2.5 tahun. Diakui atau tidak di zaman Jokowi sudah relatif berkurang,” tegas Qodari yang pengurus ICMI ini sembari menambahkan bahwa pemerintah sudah mengeluarkan perpes  pemerataan  dengan mengawali dengan distribusi lahan. Selain itu sedang disiapkan Dewan Kerukunan Nasional yang sedang menunggu perpesnya.

Sementara Ghopur mengibaratkan bahwa Pancasila itu pohon besar yang sangat rindang. “Kita berdebat di bawah. Sementara kita asik berdebat kita lupa dengan pohon yang menaungi kita sehingga terlindung dari matahari. Ini gambaran yang terjadi belakangan ini,” paparnya.

Hari ini, lanjut Ghopur bahwa sebagian kecil masyarakat mempertanyakan apa gunanya memiliki Pancasila kalau tetap miskin-miskin. Sudah 72 tahun merdeka hidup  masih begini saja, dan miskin. Lalu apa yang salah Pancasila apa orangnya?

Pendapat berbeda dikemukakan oleh Nur Rachman. Kenapa ada radikalisme?  Menurutnya karena sikap simplikasi. Ketua Umum PP KAMMI ini  melihat bahwa Pancasila belum membumi. Dulu ABRI bisa berperan dan  instrumen membumikan Pancasilan. Sekarang permasalahannya, pemerintah belum bisa menemukan instrumen untuk membumikan kembali Pancasila.

Menurutnya dengan pengetahuan maka ada pemahaman dan pengertian sehingga tidak simplikasi lagi. Untuk itu harus dijalin komunikasi. Kedua memberikan pengetahun tentang Pancasila tetapi jangan dipaksakan. Ketiga penting sekali distribusi keadilan. Dengan demikian tidak akan ada radikalisme dan perpecahan bangsa.

Pembicara keempat, Sahat Sinurat melihat bahwa persoalan radikalisme dan SARA sudah ada sejak dulu, dan hingga kini mengalami pasang surut.

“Yang terjadi sekarang ada tokoh publik, tokoh negara yang membiarkan isu SARA berkembang sehingga menjadi sensitif dan mengancam NKRI,” kritik Ketua Umum PP GMKI ini dengan terus terang.  Menurutnya ini yang membuat timbul konflik.

Alumnus ITB ini juga menolak terminologi mayoritas-minoritas yang terus mengemuka. “Kalau saya di  Tapanuli saya merasa mayoritas demikian juga kalau di Papua atau Minahasa, tetapi saya di Bandung menjadi minoritas. Karena itu, Sahat meminta jangan meniupkan mayoritas minoritas demi mendapatkan kekuasaan,” tegasnya.

Sahat juga mengakui bahwa memang terjadi ketimpangan ekonomi, tetapi di semua terjadi, tidak kelompok tertentu. Ini terjadi karena budaya literasi Indonesia memang tertinggal jauh. Dari survei 65 negara Indonesia berada di urutan 64. Menurutnya ini sangat berpengaruh dalam hal ekonomi.

 

 

 

 

Komentar Facebook
https://warningtime.com/wp-content/uploads/2017/05/18554377_120300003794416156_1881527503_n.jpghttps://warningtime.com/wp-content/uploads/2017/05/18554377_120300003794416156_1881527503_n-150x150.jpgadminwarningtimeFokusHomeJAKARTA-Yayasan Komunikasi Indonesia (YAKOM) menyelenggarakan diskusi kebangsaan dalam rangka memperingati Hari Kebangkitan Nasional dengan tema: Membendung Paham Radiklisme di Tengah Kehidupan Berbangsa dan yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, Selasa, 15/05/2017 di kantor YAKOM Indonesia, Matraman 10, Jakarta Timur. Acara yang berlangsung pukul 16.00 ini menampilkan narasumber M Qodari (Direktor...Mengungkap Kebenaran