Pro-Kontra Yerusalem dari Berbagai Perspektif dalam Bingkai Kristen
JakartaWarningTime – Pewarna Indonesia bekerjasama dengan Yakoma PGI menyelenggarakan talkshow denngan Tema: Pro-Kontra Yerusalem dalam berbagai perspektif di Cafe Libri BPK Gunung Mulia, Kamis (21/12/2017) Jakarta Pusat.
Talkshow yang dipandu Argo Pandoyo dan Daniel Tanamal ini dari Persatuan Wartawan Nasrani Indonesia (Pewarna Indonesia) menampilkan narasumber; Prof Dr Marthen Napang (Pakar Hukum), Pdt Gomar Gultom (Sekum PGI), Panatua Benjamin Obadia, Monik Rikjrs (Pendiri Hasadah) dan Pdt Audy Wiusang (Sekjen PIKI).
Menurut paparan Monique Rijkers yang tampil sebagai pemateri pertama, berpandangan bahwa kembali ke Israel maunya Tuhan yang dikenal dengan Aliyah. Dalam perspektif Israel dikenal dengan zionis atau kembali kampung halaman. Tujuan Aliyah adalah bahwa Tuhan ingin ada tempat perhentian umatnya, untuk pertobatan.
Berikutnya, Pdt Dr Audy Wiusang menjelaskan bahwa setiap bicara Yerusalem orang Kristen punya sentimen iman. “Bahwa klaim Yerusalem itu klaim iman. Dari segi simbol Yerusalem identik dengan ilahi, karena menjadi kota suci tiga agama,”paparnya.
Menarik bahwa disampaikan bahwa zaman mula-mula orang Kristen bukanlah lagi orang Yahudi tapi yang non Yahudi. Pada berikutnya, faktanya muncul banyak Kristen “radikal” yang kemudian berusaha melepaskan diri yang berbau Yahudi. Ini kemudian ada teologia baru yakni pandangan Yerusalem baru, meski kemudian tetap ada beda pandangan.
“Kalau dibawa ranah agama maka tidak ada jalan keluar, solusinya hanya bisa dengan merangkul. Kita perlu harus persoalan politik dalam konteks Yerusalem,” ujarnya.
Sementara Benjamin Obadiah mengingatkan bahwa asal Kristen berasal dari Israel bukan dari Roma Katolik, Jerman atau Amerika Serikat. Dari perspektif tanah perjanjian bahwa memang Kanaan sebelum Israel. Tetapi Tuhan memberikan tanah itu menjadi Israel, bagian dari perjanjian Tuhan dengan Abraham.
“Tuhan berjanji keturunan demi keturunan, bukan hanya untuk Isak, Yakub dan keturunan,” ujarnya.Yerusalem adalah ibukota Israel baik dari Alkitab dan sejarah. Salah satu bukti Daud memerintah lebih dari 30 tahun. Bukti Bait Suci didirikan Raja Salomo juga mendukung fakta itu.
Menurut Benjamin harus melihat ke sejarah, siapa bisa membuktikan bahwa Falistin dulu sama dengan Palistina sekarang. Apa dilakukan Trump sudah sesuai dengan fakta sejarah dalam konteks pengakuan Yerusalem ibukota Israel. Meski demikian kita Indonesia tetap mendukung perdamaian.
Di sisi lain, Pdt Gomar Gultom menjelaskan perlu memahami temuan-temuan arkeologis bahwa jauh sebelum Israel menurut temuan arkeologis sudah ada penghuni sebelumnya. Karena itu bahwa harus pandangan dari berbagai perapektif. Karena itu catatan setidaknya tiga hal, yakni semua kita ingin damai. Damai tidak mungkin diciptakan tanpa keadilan. Contoh Yerusalem lalu klaim siap yang kita pakai, apakah versi Israel atau Palestina.
“Kita mari berpikir jernih kalau tidak kita terjebak. Saya mendorong Indonesia untuk ambil bagian perdamaian Palestina-Israel, tentunya untuk ke sana harus membuka hubungan dulu. Dari dulu saya kita sudah menganjurkan itu,” tukas Pdt Gomar Gultom.
Prof Dr Marthen Napang menyoroti dari perspektif hukum Intrnasional. Karena itu, Guru Besar UNHAS ini menganjurkan melihhatnya harus dalam konteks modern, yakni kebebasan dan kemerdekaan dalam satu negara.
Berdirinya Israel, konteks zionis internasional. Setelah Yahudi berkumpul dan menyatakan kemerdekaan negaranya, ibukotanya Yerusalem. Dari sejarah modern kemerdekaan dan kedaulatan dari perspektif hukum internasional bahwa semua bangsa berhak menentukan nasib sendiri, termasuk ibukotanya. Prinsip kemerdekaan negara dalam kedaulatan negara.
“Kalau sudah menyatakan kemerdekaan dan ibukota, ada resolusi PBB itu menjadi masalah. Resolusi tidak selalu mengikat langsung,” paparnya.
Meski berbeda pandangan, tapi pada akhirnya semua sepakat bahwa penyelesaian Yerusalem yang pertama harus mengedepankan perdamaian. Talkshow ini diikuti dengan semangat oleh sekitar 100 orang peserta.
Leave a Reply