Gereja Harus Menolak Politisasi SARA dan Politik Uang
Pematang SiantarWT – Yakoma PGI bekerjasama dengan Biro Litkom GKPS dan Bawaslu Sumut menyelenggarakan Diskusi Media Sosial , Isu SARA dan Pilkada Bersih dan Damai, di Balai Bolon PAPEM GKPS Jalan Pdt J Wilmar Saragih, Pematang Siantar, Selasa (6/03/2018). Tampil sebagai narasumber Irma Simanjuntak Direktur Yakoma PGI dan Jeirry Sumampow dari Biro Hubungan Masyarakat PGI.
Menurut Irma bahwa perkembangan media sosial dan teknologi informasi kurang diperhatikan gereja. “Jangan sampai teknologi informasi makin maju tapi gereja tertinggal. Bisa terjadi gap yang tinggi antar generasi, karena melalui teknologi handphone dan internet misalnya bisa dilakukan semua tinggal di satu gadjet tersebut,”tuturnya.
Pengaruh media sosial sangat kuat karena faktanya bahwa orang membuka facebook dalam satu jam sekitar satu juta orang dan banding google sekitar empat juta orang. Fenomena sosial sekarang banyak orang bermain dengan menyebar konten-konten negatif (hoax) dengan akuntan yang jelas.
“Dengan ketatnya pengaruh media sosial apakah gereja sudah siap dengan pendekatan komunikasi yang akan sering bermain di dunia maya,” tegasnya.
Menurut Irma, komunikasi Kristen terkait dengan etika Kristen, yang tentu saja jauh dari pemberitaan bohong, tidak buat konten palsu dan harus sesuai dengan prinsip etika Kristen.
Sementara Jeirry Sumampow menyampaikan bahwa sekarang gereja menolak politik SARA dan politik uang selaras dengan apa yang dikampanyekam Bawaslu Pusat. “Kita memang harus mendukung tolak politik SARA dan politik uang dalam Pilkada, Pileg dan Pilpres,” bebernya.
Menurutnya, Pilkada Sumut agak unik karena KPU yang sama bisa memberikan putusan yang berbeda meski mereka sendiri supervisi KPU Simalungun yang ternyata dua kali menjadi bupati tetapi ketika calon gubernur malah tidak lolos administratif. “Saya kira putusan Bawaslu kita apresasi meski belum langsung JR Saragih ikut lolos,” paparnya.
Dalam triaspolitika, ada tiga kekuatan demokrasi yakni eksekutif,legislatif dan edukatif. Satu pilar demokrasi lain ialah media, tetapi media sekarang kurang mewakili kepentingan rakyat karena sering dipakai alat komunikasi. Kondisi seperti memunculkan pilar kelima yakni media sosial.
“Masayarakat kecewa akhirnya menggunakan media sosial untuk protes, sayangnya ini bisa digunakan untuk yang baik dan buruk. Karena itu, para pemimpin ke depan harus hati-hati karena semua bisa dijadikan alat untuk menyerang,” jelasnya.
Makanya dalam Pilkada, kata Jeirry sebaiknya menggunakan media sosial dengan baik, agar jauh dari berita sampah yamg tidak sehat, bisa merusak kehidupan berbangsa. Apapun yang dilakukan bebas sejauh tidak melanggar aturan. Ironisnya ada orang terdidik tapi melakukan kampanye bohong demi kepentingan kemenangan calonnya.
“Saya kira kita (PGI) berkepentingan untuk kampanye menggunakan media sosial dengan baik dan benar dan tujuannya untuk kepentingan berbangsa,” imbuhnya. Menurut Jeirry Pilkada dan Pemilu berjalan baik karena selama 20 tahun berdemokrasi berjalan dengan baik.
Dalam sambutan pembukaan diskusi, Pendeta Paul Ulrich Munthe selaku Sekjen GKPS menyatakan bahwa gereja dan warga negara harus berpartisipasi mensukseskan Pilkada 2018, terutama tujuannya agar aman dan lancar.
“Memang persaingan keras tak jarang menimbulkan konflik tetapi kita harus memanage-nya sehingga tidak terjadi perpecahan tetapi persaingan yang sehat dan baik,” paparnya.
Hadir dalam diskusi selain pendeta, masyarakat, GMKI dan juga dari panwaslu dari Pematang Siantar.
Leave a Reply