Diskusi Media PNPS GMKI Bicara Hiruk Pikuk Pasca Pemilu Ciptakan Tiga Poros Politik
Warningtime.com Jakarta – Pengurus Nasional Perkumpulan Senior Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (PNPS GMKI) menyelenggarakan Diskusi Media dengan tema: Hiruk Pikuk Politik Pasca Pemilu Implikasinya Bagi Pencerdasan Rakyat di Cafe Neigh Boor Jakarta Pusat, Jumat (2/8). Tampil sebagai narasumber antara lain Dr. Ahmad Basarah, Muhammad Qodari, Raja Juli Antony dan Pdt. Saut Sirait, yang dipandu Jeiry Sumampow dari PNPS GMKI.
Ahmad Basarah yang juga Wakil Ketua MPR RI mengajak semua pihak untuk kembali ke khitoh. Maksudnya bangsa Indonesia yang menyatakan Indonesia merdeka dengan ideologi Pancasila, hukum dasar bersumber pada UUD 1945, dengan bentuk negara NKRI dan Kebhinnekaan. Yang kemudian dipopulerkan Taufik Kemas dengan Empat Pilar.
“Kita semua duduk bersama dan sederajat, equality before the low atau sama semua dihadapan hukum,” paparnya. Sebagai bangsa besar, kata Ahmad Basarah meminjam istilah Tan Malaka yang mengatakan, “hanya keledai yang jatuh yang dua kali ke lubang yang sama.” Agar jangan disebut bangsa keledai maka kita harus kembali ke pedoman. Bicara demokrasi tidak bisa keluar negara hukum bukan nomokrasi. Termasuk Pilpres dan hiruk pikuk partai oposisi.
“Demokrasi kita bukan winner takes all atau pemennang mengambil semua. Koalisi politik terjadi hanya sebelum pilpres. Sementara fungsi pengawasan melekat pada semua partai politik yang punya fraksi di DPR. Bukan karena bergabung dengan pemerintah maka hak pengawasan itu hilang. Dalam prakteknya pemerintahan SBY dan Jokowi, keduanya melibatkan partai oposisi dalam pemerintahan. Itu sudah biasa, jadi tidak ada larangan Pertemuan Mega-Prabowo, bahwa pertemuan itu kalau dicari jejak digitalnya sudah lama sekali,” bebernya menanggapi pertemuan Megawati dan Prabowo belum lama ini.
Pembicara kedua Raja Juli Antony menyinggung bahwa secara filosopis demokrasi menempatkan rakyat dalam pusat kekuasaan. Menurutnya hiruk pikuk sekarang ini tidak ada hubungan dengan masyarakat.
“Saya juga mengapresiasi pertemuan elit politik, meski dengan budaya patrenelistik yang kental. Patron klien masih kuat di kita. Pertemuan ini bisa merelaksasi kegiatan politik yang telanjur panas selama ini. Kritik saya politik penyempitan terkait rekonsialisasi itu sendiri. Seolah-olah persoalan selesai dengan jabat tangan. Padahal proses politik harus jadi pelajaran. Mungkin kita memaafkan tapi tidak bisa melupakan,” tegas Sekjen PSI ini.
Lebih jauh kata Raja Juli Antony tidak boleh hanya selesai dan berhenti dalam jabat tangan. Harus ada pelajaran yang bisa diambil dari yang apa terjadi selama ini. Apakah harus rekonsiliasi tanpa pengakuan dosa? Harusnya Indonesia meniru rekonsiliasi seperti yang dilakukan Afrika Selatan. Supaya ada efek kagok atau pelajaran politik bahwa tidak terjadi ke depan seperti Pilpres 2019 yang menghalalkan segala cara menyerang Jokowi.
Pria yang pernah menjabat Direktur Syafi Marif Institut ini setuju Ahmad Basarah bahwa di Indonesia tidak ada nomenklatur yang mengatur oposisi, tapi sebagai negara harus ada check and balancing terhadap pemerintah ke depan. Dengan demikian sesuai dengan teori demokrasi menuju demokrasi sehat.
Menangklarifikasi tawaran duduk di kabinet sebagai partai yang belum lolos Parlement Thereshold, PSI sangat tahu diri. “Kami sadar ukuran bagi kami, yang tidak sampai duduk di parlemen. PSI hanya mendapatkan 1,9 persen secara nasional dan 3 juta suara, karena itu tidak elok menawarkan diri. PSI hanya ingin terlibat dalam proses memperkuat demokrasi,” tandasnya.
Direktur Eksekutif Indo Barometer Mohammad Qodari menanggapi bahwa pertemuan ini juga dapat dikatakan rekonsiliasi. Jadi tidak harus pemimpin senior saja, harus diikuti semua rakyat. Dipaparkanya bahwa situasi saat ini sekarang palig tidak ada tiga poros politik. Pertama Poros Teuku Umar (pertemuan Mega-Prabowo). kemudian Poros Gondangdia (pertemuan partai politik pengusung Jokowi minus PDIP) dan keduanya menimbulkan Poros Non Blok atau poros ketinggalan kereta.
“Saya kira bicara siklus politik, mudah dipahami. Ada masa kompetisi, masa rekonsiliasi, masa konsolidasi dan masa eksekusi sebelum kembali kompetisi (pimilu). Yang namanya koalisi saat pemilu, selesai sudah bubar,” bebernya.
Yang berkembang di masyarakat, lanjutnya, seolah-olah ini pertarungan kursi yaitu kursi Ketua MPR yang diperebutkan Golkar dan Gerindra. Untuk Ketua DPR bisa Puan Maharani atau Ahmad Basarah, tidak jauh dari dua nama itu. Pertarungan kedua adalah kursi kabinet. Kesan ketiga, proksi pertarungan menuju Pilpres 2024. Nah pertemuan Poros Teuku Umar seolah memberi ruang untuk Gerindra untuk Ketua MPR yang tidak diinginkan partai pendukung Jokowi.
Terkait dengan hiruk pikuk politik sekarang ini bisa diatasi dengan agenda besar publik yaitu menggagas kembali empat pilar. Silahkan bangsa ini bertarung di pemilu itu demokrasi, yang membebaskan kompetisi of idea. Masalahnya wadah pertarungan diperlebar oleh kelompok tertentu. Selama pertarungan dalam bingkai 4 pilar ya silahkan saja. Begitu bertarung di luar itu maka berarti lawan kita semua.
Qodari mengakui bahwa sejak Pemilu 2014 atau 2019 ada kelompok yang kemungkinan bertarung di luar empat pilar. Pada kondisi ini, kata Qodari lagi harus konsolidasi kembali. “Ini momentum kita semua kembali ke empat pilar. Kita harus membuat konsolidasi besar atau poros besar untuk melawan mereka yang mengusung di luar empat pilar. Kita sekarang ini dihadapkan ke yang tidak mudah karena harus sepakat di luar empat pilar musuh bersama. Pertarungan 2024 bisa lebih panas dan brutal karena tidak ada petahana lagi berarti semua punya kesempatan menang,” tegas aktivis HMI ini.
“Kita harus berterimakasih kepada Megawati yang telah menarik Prabowo kembali, tidak bisa dibayangkan kalau Prabowo makin jauh ke kanan dan jadi presiden 2024. Dampaknya besar sekali dan belum tentu kita bisa diskusi seperti ini,” Qodari mengingatkan.
Sementara pembicara mewakili PNPS GMKI Pdt Saut Sirait yang tampil sebagai pembicara terakhir menegaskan dalam tiap pemilu selalu muncul dua narasi. Narasi pemilu dan narasi rakyat. “Pertemuan Jokwi – Prabowo dan Mega – Prabowo itu narasi rakyat. Ini keberhasilan Jokowi, Mega dan Prabowo membaca narasi rakyat. Jadi pemilu Indonesia berjalan sangat baik,” tutur manta Komisioner KPU ini.
Menurutnya, sebenarnya yang terjadi sekarang adalah Pramagtisme. Dan Pragmatisme bisa menyelamatkan segala hal terkait Pemilu. Pemilu membuka ruang untuk pramagtisme dan tak boleh absolut. Contoh yang terjadi di Afrika Selatan Presiden F Deklerk yang memerintah kejam pada masa Presiden Nelson Mandela tetap diakomodir. Maka Pertemuan Jokowi, Megawati dan Prabowo adalah pramagtisme kebangsaan.
“Persoalannya sekarang kaum nasionalis selalu diam. Mari kita lawan kata dengan kata, gerakan lawan gerakan, demikian jugga organisasi lawan organisasi. Saya kira KPU harus diberi kewenangan lebih, sepertin KPU Australia yang selalu update data warga setiap hari. Meski update tiap hari itu juga masih eror, bandingkan dengan sekali lima tahun seperti di Indonesia,” kritiknya.
Oleh karena itu, kata Saut bahwa perlu dikasih regulasi apa bila kampanye di luar empat pilar maka dikasih sanksi tegas dikeluarkan dari pemilu. Dengan demikian siapapun akan takut membawa isu-isu di luar empat pilar. Jadi clear semua. Ke depan kita harus memulainya. Harus ada proses yang berkelanjutan. Kalau mereka yang telanjur di luar empat pilar, seperti bupati dan gubernur harus diberhentikan, jangan munafik atau jangan terjebak bahasa eufenisme semata.
Sementara Sekjen PNPS GMKI Sahat Sinaga, SH, MKn menyampaikan terimakasih kepada narasumber atas kesediannya terlibat dalam acara Diakusi Media ini.
“Jika ada hal yang baik dalam diskusi ini silahkan diambil, tetapi jika ada yang kurang biar saya sendiri yang menanggungnya,” tuturnya mencoba humor diakhir diskusi.
Leave a Reply