Bedah Buku “Indonesia Tidak Pernah Dijajah” Bersama Tiga Professor di Gedung DPR RI
Warningtime.com Jakarta – Ruang KKI Nusantara DPR RI dipenuhi kurang 75 orang dari berbagai lapisan masyarakat untuk menghadiri Bedah Buku “Indonesia Tidak Pernah Dijajah” karya Batara Hutagalung. Kali ini tiga professor tampil bersama memberikan analisa dan tanggapan atas buku Indonesia Tidak Pernah Dijajah yang dianggap kontroversial dan provakatif . Adapun ketiga pembedah tersebut adalah Prof. Dr. Taufik Abdullah (sejarawan), Prof. Dr. Makarim Wibisono (Hub Internasional) dan Prof. Dr. Marthen Napang (Hukum) yang langsung didampingi oleh Batara Hutagalung Senin (19/08).
Acara diawali dengan sambutan dan tanggapan Dr. Fadli Zon yang memfasilitasi bedah buku tersebut. Wakil ketua DPR RI mengungkapkan bahwa buku Batara Hutagalung ini sangat provakatif dan sangat menarik dikaji. “Saya kira buku ini sangat menarik dan memang provakatif dengan judul Indonesia Tidak Pernah Dijajah. Benarkah Indonesia 350 tahun di jajah? Mungkin Aceh hanya 40 tahun dan Jawa baru 1883 dan juga daerah lainnya tentu berbeda. Saya sudah lama diskusi dengan Pak Batara dan dia sangat konsern dengan sejarah Indonesia,” ujar Doktor Sejarah dari Universitas Indonesia ini.
Menurutnya, memang Belanda tidak mengakui kemerdekaan Indonesia 17 Agustus sifatnya defacto. Baru 27 Des 1949 ada pengakuan secara dejure. “Saya kira seorang sejarawan sejati tidak hanya membaca buku-buku meanstream tapi dia harus punya alat pisau untuk membedah dan menganalisa setiap peristiwa sejarah yang terjadi. Pak Batara selain menggeluti sejarah sangat aktif dalam pergerakan,” tutur Fadli Zon.
Dia juga mengajak semua pihak agar melihat bahwa peradaban Indonesia adalah salah satu peradaban tua. Ditandai dengan peninggalan artefak arkeolog Gua liang-liang di Sulawasi Selatan, yang memungkinkan peradapan sudah 40.000 tahun. “Mungkin kita perlu membuat rewriting history Indonesia, karena selama ini penulisan sudut pandang penjajah. Mungkin dulu kerajaan dan kesultanan dijajah tetapi tidak semua wilayah,” jelasnya sembari mengapresiasi atas terbit buku Batara Hutagalung ini.
Kemudian diskusi dipandung Dr. Rudy Gunawan dari Universitas HAMKA yang memberikan kesempatan kepada Prof Dr Taufik Abdullah. Sejarawan senior ini mengungkapkan bahwa buku ini enak dibaca tidak saja kalangan sejerawan tapi semua pihak. Buku ini memmang menunjukkan bahwa penulis juga sejarawan.
“Ketika membaca buku ini pertama saya langsung teringat dengan buku Tan Malaka berjudul Naar de Republiek Indonesia (Negara Republik Indonesia) tahun 1945. Kedua, juga teringat buku terbitan tahun 1923 Indische Vereeging (Hindia Putera) diterbitkan di negara Belanda. Ini menjelaskan Indonesia dalam masyarakat dunia,” tutur mantan Ketua LIPI ini.
Taufik Abdullah mengakui bahwa suasana buku-buku di atas masuk dalam suasana Buku Indoesia Tidak Pernah Dijajah. Fakta-fakta diceritakan berbeda. “Ya masuk akal juga Indonesia tidak pernah dijajah. Karena Perhimpuanan Indoneaia didirikan di Belanda 1926, ketua pertama Dr Sukiman,” tukasnya.
Menurutnya sejarah ditulis bukan sekedar menulis cerita masa lalu, tapi penting lagi untuk menyatakan sesuatu siapa kita? “Sejak awal saya bertanya mengapa ada buku: Indonesia Tidak Pernah dijajah. Setelah baca jadi mengetahui bahwa yang Indonesia tidak pernah dijajah tetapi yang terjajah itu Hindia Belanda,” urainya.
Waktu Bung Hatta diadili di Belanda tahun 1926, lebih dulu dari Bung Karno, pidatonya berjudul: Indonesia Merdeka. Kemudian Bung Karno membuat pidato: Indonesia Menggugat. Seperti ada korelasi pidato kedua proklamator itu. Jadi memang kita perlu bagaimana mendapatkan sejarah Indonesia centries. Dulu sejarawan hebat seperti Mr Muhammad Yamin.
“Guru saya Pak Sartono (Prof Dr Sartono Kartodirjo) belajar Sosiologi. Disertasi pertama ditulisnya tentnag Sejarah Pedesaan di Jawa. Dulu saya kurang tertarik karena bicara sejarah selalu jawa, akhirnya saya menekuni sejarah Eropa. Namun setelah ke luar negeri baru kemudian tertarik belajar mendalami sejarah Indonesia dan menulis sejarah Aceh. Kemudian belajar sejarah Minang, kemudian Sejarah Minangkabau. Pergolakan di Sumbar antara kaum muda dan kaum tua. Sistem Pergerakan Nasional selalu bicara Jawa, saya agak marah akan hal itu sebab ternyata banyak tokoh-tokoh dari Sumbar seperti Hatta, Yamin, Tan Malaka, Syahrir dan tokoh lainnya,” bebernya.
Memang buku ini bertolak dengan dialog Indoneaia dengan Belanda. Betul-betul dialog, konsep bangsa jelas bangsa Indonesia, bukan etnik dan antropoligis. “Saya anjurkan sekali untuk dibawa pelajaran di sekolah-sekolah,” ajaknya. Kata Indonesia ideologias tidak dijajah tetapi secara geografi memang dijajah. Kalau konsep geografi dijadikan ya memang beda.
Sementara Prof. Dr. Makarim Wibisono membeberkan pengalamannya ketika ikut diklat diplomat di Australia tahun 1975. Salah satu delegasi Amerika Latin bertanya kepadanya apakah benar Indonesia 350 tahun dijajah Belanda, negara kecil di Eropa. “Ketika itu saya kesulitan menjelaskan dan tidak siap akan pertanyaan seperti itu,” kisahnya.
Maka ketika buku itu dikirim ke rumah, Prof Wibisono langsung tertarik dan mengakui bahwa buku ini memperkaya khasanah Indonesia untuk menjawab terkait soal penjajahan Belanda di Indonesia. Kenapa Batara harus menulis buku ini? Rupanya dia seorang anak Pahlawan Nasioanal Kolonel dr Wiliater Hutagalung.
“Bagi saya kaitan buku ini tidak aneh. Saya kira buku ini penuh dengan semanagt cinta tanah air. Buku-buku seperti ini harus disebarluaskan ke anak-anak dan pelajar-pelajar Indonesia. Saya setuju dengan usulan Pak Fadli bahwa perlu ada Rewriting Indonesia History,” kata Duta Besar Indonesia di PBB, Guatemala dana Jamaika.
Yang kedua, kata Prof Makarim buku ini menulis akurat bagaimana Belanda bangsa yang sebenarnya. Sangat memeras dan tidak beradab. Misalnya ketika VOC datang berdagang lada rupanya mereka juga memperjualbelikan penduduk sebagai budak.
“Saya pernah ke Captown, di sana ada pasar Budak dan ada nama-nama orang Indonesia yang diperjualbelikan di sana,” jelasnya. Di dalam buku ini bangsa Belanda kejam. Di saat Banda mempertahankan pasar mereka, Gubernur Jan Peter Coen justru melakukan genocid agar pasar bisa dikuasai. Termasuk dengan orang-orang China di Batavia ketika sukses berdagang mengancam orang Belanda. Mereka kemudian dikumpulkan di Jakarta Utara dan dibrondong dan ribuan meninggal.
Jika ditanya Indonesia dijajah sejak kapan? Pertama dijajajah saat Jayakarta dikuasai dan diganti jadi Batavia. Kemudian Banda Maluku juga dikuasia. “Gambaran bahwa Indonesia dijajah 350 tahun itu merugikan kebangsaan saya. Misalnya Tapanuli, 1900 masih merdeka, juga Aceh dan Bali.
Ini bisa dijadikan amunisi kita dan menjawab bangsa lain. Buku ini menjelaskan secara jelas proses perwalian kekuasan dari Belanda ke Indonesia, tidak seperti proses penyerahan daerah jajahan Inggris kepada India atau Malaysia.
“Saya kira buku ini sangat berharga bagi calon diplomat Indonesia. Disini ada mengenai diplomasi. Saya usulkan ini bisa bacaan wajib di sekolah diplomat. Saya pengagum Buku ini dan penulisnya ya Pak Batara,” tutur Prof Makarim Wibisono. Kalau disini dijelaskan bahwa negara dan bangsa Indonesia berdiri 17 Agustus, maka ini temuan akademis yang sangat berharga untuk diplomasi kita ke depan.
Bedakan Pendudukan dan Penjajahan
Tampil sebagai pembahas ketiga, uraian Prof Dr Marthen Napang juga tak kalah menarik. Ia mengawali paparannya bahwa pertemuan ini sangat monumental pertemuan. Kehadiran Buku ini merupakan litratur utama dalam memperkaya dan meluruskan fakta sejarah masa lalu.
“Saya kira sejarah ini bicara tiga dimensi yaitu masa lalu, masa kini dan bagaimanan membaca masa depan. Keberadan Belanda di Nusantara lewat VOC motivasinya masuk ke Indonesia adalah motivasi dagang. Demikian juga Spanyol dan Portugis,” tanggapnya.
VOC hadir dalam rangka mencari komuditas bumi yang melimpah ruah hasil bumi, yang sangat diperlukan di Eropa. Mula-mula berlaku praktek monopoli. Lama kelamaan untuk mempertahankan monopoli maka diturunkan tentara Belanda.
Lebih jauh, Guru Besar UNHAS ini pada masa Jepang dengan Perang Asia Timur Raya, mereka keberadaan Belanda tidak boleh ada di Asia Timur Raya. Jepang masuk ke Indonesia bukan untuk menjajah, tetapi mengusur Belanda.
“Suasana PD I dan PD II memang ada doktrin Presiden Wilson dari AS yang menyatakan; The Right Determination atau hak menentukan nasib sendiri. Ini keluar karena ada kecenderungan pemenang Perang untuk membagi-bagi wilayah yang dikuasainya. Maka Wilson menetapkan hak untuk menentukan sendiri,” urainya.
Saat di Liga Bangsa-Bangsa (LBB) usulan ini kurang disambut. Namun ketika Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) usulan Presiden Wilson ini masuk dalam konstitusi pendirian PBB. Hak menentukan nasib sendiri, hak membentuk pemerintahan sendiri dan kemudian hak menentukan bergabung satu negara atau memisahkan diri sendiri. Maka sesungguhnya tidak ada penjajahan yang ada masa itu pendudukan.
Dengan demikian kemerdekaan Indonesia berdasarkan prinsip pendudukan bukan dari penjajahan, tapi pendudukan pemenang perang. Tidak semua negara lahir dari penjajahan. Karena itu harus dibedakan penjajahan dan pendudukan.
“Ciri utama penjajahan, terdapat penguasan efektif atas wilayah dan penduduk. Kedua, tidak ada perlawanan fisik dri penduduk yang dijajah. Sedangkan pendudukan ciri utama dalaj terdapat penguasaan bagian tertentu dari wilayah dan penduduk. Kedua ada perlawanan-perlawanan penduduk. Perlawanan seperti itu menjadi tidak ada penguasaan efektif,” beber professor yang lagi ikut seleksi KPK ini.
Maka dari itu, kata mantan ketua PIKI mengatakan bahwa perlawanan-perlawanan ke pasukan Belanda membuktikan tidak ada penguasan efektif semua wilayah dan penduduk Indonesia. Dengan demikian tidak ada penjajahan Belanda di dalam nusantara ini. Sebab tidak ada penguasaan efektif,” tutur Advokat senior ini.
Setelah Indonesia merdeka baru ada Agresi Militer Belanda. Seperti dijelaskan di atas tradisi pemenang perang kecendetungan membagi wilayah yang didudukinya kemudian melahirkan perlawanan 10 Nopember di Surabaya, Penembakan massal di Rawagede dan kasus Westerling. Dalam kondisi Indonesia mengalami Agresi Militier Belanda, ada yang mengatakan bahwa itu sama dengan kejahatan perang.
“Saya kira kita bisa memberi apresiasi lebih kepada pahlawan yang menjadikan Indonesia tidak pernah dijajah seperti Dipanegoro, Sisingamangaraja, Iman Bonjol dan lainnya. Menurut hemat saya para pahlawan yang melawan bangsa asing melalui pendudukan harus lebih dihormati daripada pahlawan kemerdekaan,” tegasnya.
Sementara penulis Buku Indonesia Tidak Pernah Dijajah Batara Hutagalung pada kesempatan itu menyatrakan bahwa masih banyak celah kosong dari peristiwa sejarah Indonesia yang belum diteliti dan ditulis. “Saya kira babakan sejarah Indonesia masih banyak bolongnya misalnya jaman pendudukan Jepang masih sedikit yang mengungkap dan menulisnya dalam karya sejarah. Kajian sejarah Indonesia masih terbuka lebar,” tutur putera dari Kolenel dr Wiliater Hutagalung ini.
Acara bedah buku kali ini berlangsung hampir empat jam lebih. Selain dihadiri tokoh penting seperti Taufikrahman Ruki (eks KPK), Marsekel (Purn) Imam Safaat, Edison Simanjuntak, Indra Piliang (pengamat politik dan sejarawan) para diplomat, guru dan pelajar SMA. Bahkan ketika dibuka sesi tanya jawab belasan orang penyanyi secara antusias sehingga acara berlangsung sampai sore.
Leave a Reply