Warningtime.com Jakarta – Yayasan Komunikasi Indonesia (YKI) menyelenggarakan diskusi internal terbatas dengan membahas Omnibus Law (UU Cipta Kerja) yang belum lama ini  ditandatangani Presiden Jokowi. Diskusi berlangsung di kantor YKI Jalan Matraman 10, Kamis (05/11/2020) menghadirkan tiga nara sumber yaitu Dr. Ronsen Pasaribu (Bank Tanah), Rekson Silaban (Perburuhan) dan Penrad Siagian (Koalisi Masyarakat Sipil). Acara dipandu Dr. Sahat Sinaga, SH, MKn dihadiri pengurus YKI, undangan dan perwakilan media.

Tampil sebagai pemateri pertama, Dr. Ronsen Pasaribu memaparkan bahwa tujuan dari Reforma Agraria adalah membagikan tanah bagi yang belum memiliki sehingga tercipta keadilan. Untuk itu UU Cipta Kerja telah mengakomodasi dengan hadirnya Bank Tanah. Dengan demikian ada jaminan penguasaan tanah ke depan harus transparan dan akuntabel.

Ia menyoroti bahwa terkait harga tanah yang dulu wewenang Menkeu kini dilimpahkan ke Kabupaten dan Kota. Pasar tergantung suply dan demand. Untuk kepentingan umum maka harga ditentukan appraisal.

“Saya kira yang mempersulit investasi di Indonesia salah satunya terkait tanah ini yang cenderubg tak terkendali. Ini yang dilihat presiden sebagai kendala. Ini yang dibenahi dalam UU Cipta Kerja,” tegasnya.

Dibukanya kran untuk kepemilikan rumah susun untuk orang asing meski terbatas di wilayah tertentu dalam rangka merangsang investor. Menurutnya Indonesia selama ini kalah jauh dengan negara lain seperti Vietnam dan Thailand.

Sementara Rekson Silban mengakui bahwa Presiden Jokowi memperbaiki rangking Indonesia bussines friendly menempati peringkat 73 meski masih kalah jauh dari Malaysia peringkat 12, Thailand peringkat 21  dan hanya dua tingkat di bawah Vietnam peringkat 71 (versi Doing Bussines Report of WB).

Namun, aktivis buruh ini mengingatkan bahwa tiadanya rencana panjang bidang ketenagakerjaan, membuat regulasi tumpang tindih, sering berganti, kepatuhan rendah dan susah diimplementasikan.

Ia mencontohkan perubahan upah minimum (UMR, UMPK, UMK, UMS, PP 78 UU Cipta Kerja).

“Saya kira keberpihakan tinggi ke pekerja formal berakibat fatal. Karena kompleksitas ketenagakerjaan Indonesia. Penduduk pekerja 131,03 juta orang. Sebanyak 74,4 juta orang (53 persen) justru pekerja informal,” kritiknya tajam perlu juga perhatian ke pekerja informal.

Menurut Rekson Silaban sistem upah Indonesia seharusnya cukup dua yakni Upah Minimun (UM) Kabuppaten/kota ditetapkan pemerintah dan Upah Hidup Layak (UHL) melalui perbandingan bipartif atau sesuai skala upah.

“Kalau saya jadi menteri tenaga kerja cukup menerapkan dua upah itu.”

Ia juga menegaskan bahwa terkait outsourching bahwa seluruh negara didunia sudah menggunakannya hanya karakter peggunaannya saja yang berbeda.

Pamateri berikutnya, Penrad Siagian dari Koalisi Masyarakat Sipil (KMS) justru banyak mengkritisi dan mempertanyakan keberadaan UU Cipta Kerja yang tidak berpihak pada pekerja.

Ia menyetir mulai dari pihak-pihak di belakang pembuat UU,  yang diisi Satgas Omnibus Law yang lebih dari 70 persen berasal dari kalangan usahawan jadi bisa ditebak keberpihakannya seperti apa.

Ia mencontohkan Pasal 42 soal terkait pekerja asing, UU ini justru membuka kran dengan mengubah perizinan hanya sekadar urusan administrasi. Yang hanya perlu syarat dokumen. Sementara kewajiban berbahasa Indonesia justru dihapus.

Demikian juga terkait outsourching yang setidaknya ada lima krusial yang dihapus. Belum terkait pengupahan, jam kerja, lembur bertambah, terkait cuti dan lainnya, semuanya justru tidak menjamin hak-hak buruh.

“Kalau  UU dulu dimuat dan  tidak bisa dilaksanakan dengan benar, apalagi dihilangkan dalam UU Cipta Kerja, bagaimana mungkin? Bagaimana keberpihakan kepada buruh. Saya kira jangan berharap banyaklah,” kritiknya pedas.

Ia juga mengkritisi kebradaan UU Cipta Kerja justru membuka ruang untuk mengembalikan kewenangan pusat yang selama ini sudah diberikan wewenang pemerintah daerah yang sesuai amanat reformasi. Belum lagi keberadaan lembaga investasi yang mengelola ratusan triliunan yang tidak bisa disentuh BPK dan KPK.

Pada kesempatan itu, Ketua Panitia, Robert Sitorus menegaskan bahwa kegiatan diskusi ini akan terus dilakukan YKI dan berkesinambungan. Hasil-hasil diskusi ini nantinya akan dikirimkan ke pemerintah sebagai sumbangsih YKI.

Ditambahkan Dr. Bernard Nainggolan selaku Ketua Yayasan Komunikasi Indonesia (YKI) yang menyinggung dua hal yakni soal keberadaan tanah negara yang seharusnya dimamfaatkan untuk menjadi sumber pendapatan negara. Menurutnya ada banyak tanah negara yang tidak produktif, contoh alun-alun kota yang tidak bisa memberikan pemasukan meski letaknya strategis.
Kemudian, perlu pradigma baru soal pengelolan uang. Pekerja Indonesia terbiasa dengan pandangan sempit. Bahwa mendapat gaji misalnya 10 juta dibelankan habis dan mungkin ditabung sisanya, ia percaya masih akan dapat gaji yang sama, tanpa berpikir inflasi yang membuat nilainya berkurang.

Dr. Sahat Sinaga, SH, MKn yang bertindak sebagai moderator berjanji akan merumuskan hasil-hasil diakusi dan nantinya bisa jadi sumbangan pemikiran YKI terhadap pemerintah dalam mengawal sekaligus mengkritisi keberadaan UU Cipta Kerja.

Komentar Facebook
https://warningtime.com/wp-content/uploads/2020/11/20201105_145525-1024x768.jpghttps://warningtime.com/wp-content/uploads/2020/11/20201105_145525-150x150.jpgadminwarningtimeFokusIndonesiaWarningtime.com Jakarta – Yayasan Komunikasi Indonesia (YKI) menyelenggarakan diskusi internal terbatas dengan membahas Omnibus Law (UU Cipta Kerja) yang belum lama ini  ditandatangani Presiden Jokowi. Diskusi berlangsung di kantor YKI Jalan Matraman 10, Kamis (05/11/2020) menghadirkan tiga nara sumber yaitu Dr. Ronsen Pasaribu (Bank Tanah), Rekson Silaban (Perburuhan) dan...Mengungkap Kebenaran