Warningtime.com – Mencermati fenomena akhir-akhir ini terhadap rencana akan dilakukan revisi otonomi khusus Papua memberi kesan seperti berada dipersimpangan jalan, ibarat sebuah kendaraan yang berada dipersimpangan jalan. hal ini merujuk pada berbagai perbedaan pandangan dan pergerakan yang melingkupi para tokoh-tokoh Papua, baik yang ada di pemerintahan daerah, pemerintahan pusat, dan dunia internasional. Persepsi publik yang berkembang menimbulkan berbagai versi tentang keberlanjutan undang undang otonomi khusus Papua diantaranya otsus jilid 2, otsus lanjutkan, otsus gagal sampai referendum, dengan berbagai penafsiran yang berbeda-beda.

Bukan tanpa alasan, hal ini dinilai dan dirasakan oleh sebagian masyarakat khususnya rakyat Papua bahwa dengan adanya otsus selama ini, sejak berlakunya tahun 2001 sampai dengan saat ini dinilai tidak memberikan dampak secara langsung kepada rakyat Papua baik dari aspek kesejahteraan, sumber daya manusia, maupun aspek pembangunan, disamping itu ada pertimbangan ideologi.

Sementara itu disisi lain oleh sebagian masyarakat khususnya rakyat Papua, dinilai bahwa otonomi khusus telah memberi dampak positif bagi kemajuan masyarakat Papua. Namun ditingkat elit baik para tokoh maupun para pejabat pemerintahan di Papua menilai dari aspek kewenangan, kebijakan maupun regulasi antara didaerah dan pusat mulai dari Peraturan Daerah (Perda), Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi), Peraturan Daerah Khusus (Perdasus), Peraturan Pemerintah (PP), dan Undang Undang yang berlaku umum terjadi tumpang tindih dan menjadi persoalan sehingga dengan demikian tentu berdampak pada anggaran atau pendanaan otsus yang cukup banyak dan dinilai oleh sebagian pihak tidak tepat sasaran.

Upaya Merevisi
Pasca rencana direvisinya UU No. 21/2001 yang didalamnya terdiri dari 79 pasal, telah menjadi prioritas dalam program legislasi nasional (Prolegnas) tahun ini. Salah satu dasar pertimbangannya adalah terkait evaluasi anggaran otonomi khusus yang akan berakhir pada tahun 2021 sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 34 UU 21/2001, menyatakan bahwa ‘penerimaan dana dalam rangka otonomi khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e berlaku selama 20 Tahun’.

Dalam aspek politik hukum, proses revisi undang undang otonomi khusus bagi provinsi Papua sampai dengan akhir ini, menurut penulis proses revisi ini merupakan upaya kali ketiga, yang sebelumnya telah dilakukan 2 (dua) kali upaya revisi, dimana upaya tersebut dilakukan dimasa pemerintahan SBY diantaranya : (1) pada tahun 2008 dengan disahkannya Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang No.1 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas Undang Undang No 21 Tahun 2001 yang dituangkan menjadi Undang Undang No. 35 Tahun 2008. Undang undang tersebut merupakan bagian dari pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) Provinsi Papua Barat serta penghapusan Pasal 7 ayat (1) huruf a tentang pemilihan gubernur dan wakil gubernur melalui Dewan Perwakilan Rakyat Papua. Revisi tersebut dilakukan pada masa pemerintahan presiden SBY, yang dinilai terkesan tertutup dan terburu buru sehingga menjadi polemik pada saat itu. (2) pada tahun 2013-2014, pemerintahan presiden SBY dimasa akhir pemerintahannya, telah menyetujui hasil revisi total yang ditandai dengan dikeluarkan surat presiden (Surpres) yang dulunya disebut amanat presiden (Ampres) kepada DPR RI. Kajian atas draft revisi undang-undang otsus dilakukan oleh Pemerintah Papua dengan membentuk tim asistensi dengan berbagai komponen masyarakat Papua, dimana draft revisi rancangan undang undang tersebut dinamakan UU Pemerintahan Otonomi Khusus Plus Papua.

Ketika dilakukan pembahasannya ketingkat DPR RI melalui komisi II, draft RUU tersebut akhirnya ditolak dengan berbagai pertimbangan sehingga kekecewaan pemerintahan Papua dibawah kepemimpina Lukas Enembe tak terbendung. Disamping itu ada upaya konstitusional dengan mengajukan beberapa Juducial Review (JR) atau pengujian Undang Undang 21/2001 terhadap Undang Undang Dasar 1945 di Mahkamah Konstitusi diantaranya tentang kriteria orang asli Papua (OAP), Partai Politik Lokal, dan syarat calon kepala daerah dikabupaten/kota dan pengujian Undang Undang 35/2008 Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang No.1 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas Undang Undang No 21 Tahun 2001, namun kesemuanya ditolak.

Pada saat ini upaya merevisi RUU Otsus Papua masuk dalam skala prioritas bagi pemerintah pusat dan DPR RI di bawah kepemimpinan presiden Jokowi. Kajian penyusunan draft RUU Otsus kali ini, melalui Pemerintah daerah telah menyerahkan kepada tim akademik universitas Cenderawasih untuk dikerjakan. Saat ini draft RUU tersebut diserahkan kepada pemerintah daerah Provinsi Papua kembali guna dipelajari. Hal yang perlu menjadi catatan bahwa syarat materiil maupun formiil dalam sebuah rancangan peraturan perundang undangan sebagaimana ketentuan UU No. 12 Tahun 2011 Tentang pembentukan peraturan perundang ungangan, harus menjadi konsen utama. Didalam pembahasan RUU otsus tersebut, bukan saja pada syarat materiilnya saja, namun yang paling penting adalah syarat formiilnya yaitu tahapan-tahapan yang dilakukan dalam penyusunan ini sampai ketingkat DPR RI harus benar-benar dipastikan, dan melibatkan berbagai komponen masyarakat Papua.

Menurut kacamata konstitusi
Kewenangan pemerintahan daerah erat kaitannya dengan pembagian kekuasaan dalam penyelenggaraan pemerintahan, yang terpolarisasi dalam sistem pemerintahan negara federal atau negara kesatuan. kajian bentuk negara terhadap beberapa teori modern yang dikembangkan oleh para ahli bermuara pada bentuk negara kesatuan (Unitarisme) yang dapat berbentuk sistem sentralisasi dan sistem desentralisasi dan negara serikat/negara bagian (federalisme). Menurut C.F Strong dalam bukunya yang berjudul konstitusi-konstitusi politik modern menyatakan “ bahwa negara kesatuan apabila kekuasaan tidak terbagi (kekusaan pemerintah pusat tidak dibatasi oleh daerah) dan kedaulatan tidak terbagi kedalam daerah-daerah”. Selanjutnya menurut G.J. Wolhoff “bahwa negara kesatuan dalam sistem desentralisasi, seluruh kekuasaan dimiliki oleh pemerintah pusat, dan pemerintah pusat menentukan bentuk, susunan yang ada di daerah-daerah otonom”.

Konsep negara kesatuan menurut A. Hamid S. Attamimi dalam pidato pengukuhan guru besar tetap fakultas hukum Universitas Indonesia menyatakan “bahwa negara kesatuan dengan sistem sentralisasi adalah segala sesuatu dalam negara, langsung diatur/diurus pemerintah pusat, sedangkan negara dengan sistem desentralisasi merupakan pemberian kesempatan kepada daerah untuk mengurus rumah tangga dan pemerintahannya sendiri”. Sekilas melihat sejarah lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia merujuk dalam buku RM. A B Kusuma yang berjudul Lahirnya Undang Undang Dasar 1945, “dalam sejarah perdebatan tentang apakah kesatuan atau federal dalam pendirian negara Indonesia, terjadi pada saat sidang Panitia Hukum Dasar tanggal 11 juli 1945 yang dibuka pukul 16.45, dipimpin oleh Ir. Soekarno dan H. Agus Salim. Dengan meminta pengambilan suara, 17 orang menyatakan kesatuan (Unitarisme) dan 2 orang menyatakan tidak mufakat, sehingga negara Indonesia bercirikan negara kesatuan yang dinamakan NKRI”. Sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi “Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk Republik”. Landasan konstitusi, sejarah, politik dan karateristik negara Indonesia, yang dikaitkan dengan sejarah politik Papua dengan berbagai sumber yang ada, dimana terintegrasinya Papua kedalam NKRI pada tanggal 1 mei 1963. Dunia internasional mengakui Papua secara sah adalah bagian dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tahun 1969 yang dikukuhkan melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera).

Dengan demikian konsep lahirnya UU Otonomi Khusus bagi Tanah Papua dalam negara kesatuan merupakan hal yang mutlak disematkan. Yang menjadi dasar konstitusi tertulis terhadap UU No. 21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua adalah Pasal 18B UUD 1945 yang menyebutkan bahwa negara mengakui dan menghormati satuan satuan pemerintahan daerah yang besifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Menurut Prof. Bagir Manan“bahwa konsep otonomi khusus memuat “perkataan khusus” yang memiliki cakupan yang luas, karena dimungkinkan membentuk pemerintahan daerah dengan otonomi khusus”. Menurut Bhenyamin Hoessein “bahwa sebelum perubahan Pasal 18 tersebut menyebutkan pembagian Daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintannya ditetapkan melalui undang-undang dengan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara dan hak-hak asal usul dalam daerah-daerah yang bersifat khusus atau istimewa. Kata-kata dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara kita tidak diragukan lagi mengandung makna demokrasi”.

Menurut penulis permusyawaratan merupakan cerminan demokrasi kita, sebagaimana yang tertuang dalam sila keempat Pancasila sebagai basis dasar konstitusi negara Indonesia yang memiliki ciri demokrasi Pancasila. Dalam sejarah penyelenggaraan pemerintahan Republik Indonesia sendiri menunjukkan bahwa otonomi khusus merupakan salah satu bagian penting dalam dalam penyelenggaraan pemerintahan negara.
Adapun upaya konstitusional terhadap rancangan undang undang otonomi khusus Papua antara lain; (a) mengawal dan memastikan syarat materiil yang ada dalam RUU Otsus tersebut harus mencerminkan Pancasila dan UUD 1945; (b) mengawal dan memastikan materi draf RUU Otsus tersebut harus memberikan kepastian hukum yang berdasar pada kebutuhan dan kemauan rakyat Papua secara konstitusional; (c) pemerintah pusat, DPR RI, dan Pemerintahan Papua wajib membuka ruang komunikasi dengan melibatkan semua komponen masyarakat Papua dalam rangka jaring aspirasi dan sosialisasi; (d) mengawal dan memastikan proses formiil RUU Otsus tersebut ditingkat pemerintah pusat sampai pada tingkat parlemen di DPR RI dengan melibatkan Pemerintah Daerah, DPRP, MRP, dan akademisi Universitas. Kritik yang konstruktif sangat dibutuhkan dalam mengawal RUU Otonomi Khusus Papua disamping melalui pendekatan politik hukum, pendekatan sejarah, antropologi, sosiologis, namun yang harus diutamakan adalah pendekatan dari hati karena keseluruhannya berbasis konstitusional. Otonomi khusus Papua merupakan kewenangan spesial yang diberikan oleh negara diera pemerintahan presiden KH. Abdurrahman Wahid atau yang dikenal dengan nama Gus Dur. Papua dengan kekhususannya terletak antara lain pada persoalan sejarah, budaya, suku bangsa, dan sumber daya alam dengan sejuta pesona yang ada didalamnya. Kedepan Pemerintahan Daerah, dan Pemerintahan Pusat perlu mengoreksi dan mempertimbangkan berbagai persoalan hukum dan sosial politik yang terjadi di daerah, nasional, dan internasional, sehingga tercipta harmonisasi dengan Rakyat Papua, seperti bak nyanyian burung cenderawasih kala menyambut mentari.

OLEH :
LAODE M RUSLIADI SUHI, SH.,MH.
PRAKTISI HUKUM & PENELITI PAPADE INSTITUTE

Komentar Facebook
https://warningtime.com/wp-content/uploads/2020/11/20201119_085946.jpghttps://warningtime.com/wp-content/uploads/2020/11/20201119_085946-150x150.jpgadminwarningtimeFokusWarningtime.com - Mencermati fenomena akhir-akhir ini terhadap rencana akan dilakukan revisi otonomi khusus Papua memberi kesan seperti berada dipersimpangan jalan, ibarat sebuah kendaraan yang berada dipersimpangan jalan. hal ini merujuk pada berbagai perbedaan pandangan dan pergerakan yang melingkupi para tokoh-tokoh Papua, baik yang ada di pemerintahan daerah, pemerintahan pusat,...Mengungkap Kebenaran