Forum Kenegarawanan dan FOKO: “Tolak” Kepres 17 Tahun 2022
Jakarta, WarningTime.com – Forum Kenegarawanan bekerjasama dan Forum Komunikasi Purnawirawan TNI-POLRI (FOKO) menggelar Diskusi Terkait Masalah Kebangsaan di Gedung FOKO Jakarta, Selasa (11/04/2023, usai diskusi dilanjutkan buka puasa bersama.
Dalam pengantar diskusi Sri Eko Sriyanto Galgendu dari Forum Kenegarawanan menyampaikan apresiasi dan terimakasih kepada FOKO yang telah menjadi tuan rumah diskusi.
Sejak lama harapan kita lahir negarawan. Saat reformasi kita mencoba bertanya dimana negarawan? Mencari di Parpol dan tempat lainnya, tapi sampai saat ini belum menemukan sosok negarawan.
“Impian akan negarawan adalah mampu mengembangkan bangsa dan negara, yang setiap nafas hidupnya adalah bangsa dan negara. Forum Kenegarawanan bersama FOKO berharap lahir negarawan dari Purn TNI-Polri, akademisi, cendekiawan, pengusaha dan lainnya,” ujar Ketua Umum GMRI.
Menurutnya, kewibawaan dan martabat bangsa sekarang terus merosot sampai hari ini. Kita hadir di sini membicarakan masalah merosot martabat bangsa kita.
Sementara Prof. Yudi Haryono, PhD yang dipercaya memandu diskusi langsung mengangkat topik terkait keberadaan Kepres 17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM yang Berat Masa Lalu yang perlu disorot dalam diskusi.
Adapun penanggap pertama Letjen Bambang Darmono membeberkan bahwa tanggal 16 Agustus 2022 terbit Kepres 17 terkait penyelesaian pelanggaran HAM. Di sana dicantumkan penyelesaian non yudisial, dengan alasan karena bukti-bukti sudah hilang.
“Kepres ini tidak menyelesaikan dengan cara yudisial. Di Kepres tertulis 12 pelanggaran berat. Antara lain: peristiwa 1965-1966, penembakan misterius 1982, Talangsari, Peristiwa Mei, Dukun Santet, Wasior, Wamena, Jambu Kepok di Aceh lalu bagaimana dengan pelanggaran HAM lainnya?” katanya Sekjen FOKO mempertanyakan Kepres 17.
Persoalannya, kata Bambang, kalau pelanggaran berat HAM yang terjadi di Indonesia apakah hanya itu saja (12)? Bagaimana pelanggaran sejak 1945 atau sejak merdeka? Apa maksud penentuan 12 pelanggaran berat? Ini jelas bisa memicu ancaman persatuan dan kesatuan nasional.
“Apakah kita rela anak bangsa kita diadili di ICC Den Hag, sesuai statuta Roma? Yang negara AS, Rusia dan China tidak meratifikasi dengan kata lain tidak mematuhi ICC. Konstitusi kita melindungi segenap tumpah darah,” tukasnya.
Karena itu, ia menilai perlu mengirim surat ke Presiden dan Komnas HAM. Kalau komnas memberikan angin segar maka kita tidak segan meminta presiden mencabut Kepres 17.
Senada dengan itu, Prof. Edi Swasono menegaskan bahwa sejak terbit Kepres 17 dirinya sudah banyak bicara dengan tokoh-tokoh TNI-Polri dan tokoh lainnya.
“Saya tegaskan agar TNI-Polri dan purnawiraan perlu menolak terbit Kepres 17. Sayangnya kurang begitu direspon waktu itu,” ujarnya menayangkan.
Sementara Laksamana Purn. Tedjo Edi mengisahkan saat masih di istana beberapa kali mengingatkan presiden terkait pelanggaran HAM agar hati-hati dalam meminta maaf. Karena ini kaitannya terkait kompenisasi.
Ia mencontohkan kasus Talangsari Lampung sudah ada penyelesaian non yudisial dengan keluarga korban sudah diangkat karyawan di perusahaan. “TNI sudah berubah, TNI milik rakyat,” ungkapnya.
Beberapa penanggap lain seperti Haryono berpandangan lain, bahwa yang bertanggung jawab untuk meminta maaf pelanggaran HAM misalnya kasus 1965, adalah presiden Soekarno yang memerintahkan dan memberi tugas presiden sendiri.
TNI adalah pelaksana operasional, karena itu TNI tidak boleh meminta maaf. Karena presiden Soekarno sudah tidak ada makanya pewarisnya presiden sekarang bisa melakukannya.
Bahkan, dalam diskusi mengemuka kalau mau minta maaf sebaiknya presiden lebih baik minta maaf karena masih maraknya kemiskinan, pengangguran dan kesenjangan yang masih terjadi di bangsa ini.
“Daripada minta maaf pelanggaran HAM lebih baik minta maaf karena belum bisa mensejahterakan rakyat, itu lebih penting,” pungkasnya.
Leave a Reply