Labora Sitorus Korban Peradilan Sesat dan HAM, Keluarga Lapor Ke Komnas HAM
Warningtime.com Jakarta – Kata adigium bahwa sekalipun langit runtuh maka hukum harus ditegakkan. Namun prakteknya tak selamanya begitu. Sebab kerap juga hukum tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas. Paling tidak itulah yang mengambarkan perkara yang dialami Labora Sitorus, menjadi korban pelanggaran HAM oleh peradilan sesat. Betapa tidak, tahun 2013.
Labora dipaksa mengikuti proses peradilan yang kemudian oleh Pengadilan Negeri Sorong menghukumnya dua tahun penjara, dan oleh Pengadilan Tinggi Jayapura menghukum delapan tahun. Putusan kasasi September 2015 Mahkamah Agung Republik Indonesia, menghukumnya lima belas tahun penjara. Hal yang mengusik nurani kita semua.
Kini Labora dengan getir menjalani masa hukumannya di LAPAS Cipinang dengan kondisi mengalami banyak penyakit, menantikan datang keadilan atas dirinya.
Di tengah perjuangan menggapai keadilan dan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia atas penegakan hukum, kerabatnya dan keluarga dan juga warga Sorong, pada Senin, (17/12/18) mendatangi kantor Komnas HAM, di Jalan Latuharhary, Menteng, Jakarta Pusat. Mereka diterima oleh kepala Sub bagian pemantauan Komnas HAM yaitu; Mailani.
Saat melapor, seorang tokoh dari Sorong membacakan pernyataan dari tokoh-tokoh dari Sorong seperti; keluarga besar Fakdawer, keluarga besar Mansen, keluarga besar Wanma AP, keluarga besar Osok, keluarga besar Marani, keluarga besar Komdono, keluarga besar Imbiri, keluarga besar Mambrasak, keluarga besar Yembisa, dan keluarga besar Mayok membuat pernyataan menyerukan pembebasan bagi Labora Sitorus.
“Bagi kami pak Labora Sitorus bukan hanya sahabat, teman, tetapi beliau adalah tokoh masyarakat dalam pembangunan di Sorong.”
Mereka menyerukan keadilan diberikan kepada Labora Sitorus. Mereka melihat peradilan sesat dan pelanggaran HAM yang dialami Labora Sitorus dalam kasus yang disangkakan tersebut. Justru, bagi mereka Labora Sitorus adalah pahlawan di Sorong, bahkan banyak masyarakat Sorong yang dipekerjakan, dibantu biaya sekolahnya. Termasuk membantu pembangunan sarana-prasana yang dibutuhkan masyarakat di Sorong.
Hadir juga dari pihak keluarga, tante Labora Sitorus, menyebut, tak bisa menyembunyikan kesedihan dan kepedihan tatkala bicara tentang apa yang terjadi pada keluarganya, terutama yang menimpa keponakannya Labora Sitorus.
“Dia sosok pemberani, pekerja keras, orang baik, pengayom dan pahlawan. Melihat dia tak berdaya sakit dan dipenjara, membuat kami sebagai keluarga sangat sedih. Kami merindukan akan keceriaan yang dibawanya dulu, dan rindu suasana yang dulu saat dia berada di rumah bersama kami,” terangnya.
Tante Labora Sitorus juga menyebut, hatinya pedih terhadap apa yang dialami keponakannya.
“Saya tak melihatnya lagi ceria sejak dihukum peradilan sesat dan pelanggaran HAM yang dialami keponakan saya, khususnya yang disangkakan kepadanya. Menurut kami ini perkara yang dipaksakan. Oleh karenanya pihak keluarga memohon, tolong dibebaskan keponakan saya. Saya hanya mau bertanya sama negara ini, pemerintah ini, hukum apa yang dipakai untuk menahan dan mempidanakan keponakan saya? Saya tak mengerti tentang hukum, akan tetapi negara ini harus menjalankan Undang-Undang. Jangan membuat Undang-Undang itu hanya mainan politik, menjadi peradilan sesat. Jikalau memang seperti ini, mau dibawa ke mana negeri kita ini?,” sebut tante Labora Sitorus, adik dari mamanya.
Sembari mengatakan dengan tegas, “Keponakan saya bukan penjahat! Bebaskan keponakan saya. Itulah permintaan kami, sebagai keluarga.”
Sementara itu, Wolter Sitanggang, sahabat dan orang yang telah memberi dirinya untuk memperjuangkan keadilan bagi Labora Sitorus meminta perhatian Komnas HAM.
“Sejak tiga tahun lalu, tahun 2015 telah dilakukan telaah berupa Eksaminasi terhadap Putusan Pengadilan atas diri Labora Sitorus oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Komnas HAM RI), di mana hasil Eksaminasi Komnas HAM RI ditemukan banyak sekali kejanggalan dalam proses hukum terhadap Labora Sitorus,” ujarnya.
Perlu diketahui, Eksaminasi Proses Hukum yang dibuat Komnas HAM itu, menyimpulkan beberapa hal diantaranya; telah terjadi apa yang disebut dalam hukum pidana sebagai kesalahan fatal dan serius dalam menetapkan subyek hukum yang dapat diminta pertanggung-jawaban pidana.
Selain itu, kesalahan penegak hukum mulai dari Polisi sebagai penyidik, Jaksa sebagai penuntut umum, dan kemudian hakim yang memeriksa, mengadili dan membuat Putusan yang mempidana Labora Sitorus.
“Peradilan sesat dan pelanggaran HAM yang dialami Labora Sitorus dalam kasus yang disangkakan terkait ilegal logging, ilegal BBM & UU pencucian uang, dibuktikan dari hasil eksaminasi yang dilakukan Komnas HAM tahun 2015 lalu. Negara dalam hal ini Lembaga Negara harus bertanggung jawab terkait adanya Error inpersona,” ujar lagi.
Saat diterima di Ruang Pengaduan Komnas HAM selain keluarga dan tim hukum Labora, hadir juga aktivitas HAM, mantan Komisioner Komnas HAM Johnny Nelson Simanjuntak. Saat ditanya wartawan, sebagai advokat dan pegiat HAM, bagaimana pengalaman dan pengetahuannya tentang penegakan hukum seperti ini? Dia mengatakan, persoalan hukum yang dialami Labora Sitorus kentara sekali dipaksakan.
“Saya katakan dipaksa, itu didasarkan pada fakta yang tampak pada tindakan menyimpang dan secara sistimatik para penegak hukum atara lain; penyelidik menggunakan laporan polisi untuk terlapor orang lain untuk menjerat Labora Sitorus,” ujarnya.
Dia menambahkan, penyidik tak melakukan pemeriksaan terhadap Labora sehingga tak membuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP) atas diri Labora. Lucunya, ironisnya yang bertahun-tahun menjabat direktur PT Rotua tak dijadikan menjadi tersangka, sementara pejabat direktur yang baru menjabat tiga hari, malah dijadikan tersangka.
Dia menambahkan, bagaimana pengalaman dan pengetahuannya tentang penegakan hukum dan kondisi HAM di Indonesia. “Di perkara ini, telah terjadi penggaran HAM. Sebagaimana defenisi penggaran HAM menurut UU 31/99 tentang HAM ialah perbuatan sengaja atau lalai yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, mencabut HAM yang dijamin oleh UU tersebut,” jelasnya lagi.
Pasal 17 misalnya, menyebut, hak untuk diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tak memihak. Sementara dalam perkara ini, pelanggaran itu tampak jelas ada pelanggaran prinsip legalitas yang mengharuskan semua proses hukum terhadap tersangka harus dilaksanakan berdasarkan hukum yang berlaku.
“Pelanggaran terhadap prinsip penahanan yang tak boleh sewenang-wenang. Di perkara ini terjadi pelanggaran terhadap azas kepastian hukum yang merupakan pilar utama dalam penegakan HAM. Dan terjadi pelanggaran terhadap azas praduga tak bersalah, dan telah terjadi pelanggaran azas tak boleh menghukum yang tak bersalah,” ujarnya.
Adanya kejanggalan dari Putusan PN selama 2 tahun, PT jadi 8 tahun dan MA 15 tahun. Putusan PN dengan MA jauh sekali. Selain benarkah Labora sendiri bertindak dalam kasus ini, atau memang dikorbankan sendiri. (HM)
Leave a Reply