Artikel Varen Varina: DISENGAGEMENT
Bandung WT – Disengagement adalah kata yang dipakai untuk menyatakan suatu kejadian yang berupa “pelepasan” dari satu hal dikarenakan adanya kejadian buruk.
There’s always a PROBLEM before the SOLUTION. Tidak mungkin solusi diperlukan tanpa adanya hal yang perlu diperbaiki atau diselesaikan , sebelum ada solusi pasti ada masalah yang membawa kita dapat berpikir untuk mencapai suatu solusi. Dan saat kita mencapai kepada solusi tersebut, ada suatu kepuasan yang kita raih karena berhasilnya menyelesaikan sesuatu. Alangkah baiknya apabila kita bisa melihat solusi adalah tujuan pokok dari masalah yang kita hadapi , sehingga masalah tersebut membangkitkan semangat kita untuk meraih suatu yang positif bukan memadamkan semangat hidup. Dan PASTI masalah yang terjadi hari ini , berkaitan dengan apa yang akan terjadi besok . Jadi dapat dikatakan masalah juga berarti sebagai jembatan dan jalan dalam kehidupan. Dan “jalan” tersebut pastinya mengarah ke suatu tujuan.
Faktor apa saja yang membuat diri kita menjauh dari tujuan hidup kita yang sebenarnya (disengagement) :
– Kejadian masa lalu yang mengakibatkan trauma. Gambar diri negative / positif yang ada pada saat ini, muncul karena adanya kejadian di masa lalu . Dampak memang tidak bisa dihindari, tapi kita bisa memilih untuk mendapatkan pelajaran yang tidak bisa didapatkan dari orang lain. Masalah yang terjadi apabila ditanggapi dengan keinginan menyelesaikannya dengan solusi yang bijak akan menghasilkan asset kehidupan .Asset ini lah yang membuat setiap orang memiliki keunikan masing – masing . Seringkali manusia menyia-nyiakan masalah dengan meratapinya sebagai suatu bencana, dan dengan sedihnya menceritakan masalah itu kepada orang yang tidak perlu mengetahui hal tsb tanpa menghasilkan solusi apapun. Masalah juga bisa menjadi “kacamata kehidupan” untuk memfilter orang –orang yang bisa dipercaya dalam kehidupan . Pandanglah masalah sebagai bahan baku asset-asset kehidupan , makan naiklah level kehidupan . karena Aset berarti “modal” , dan modal itulah yang akan menjadikan manusia berkualitas. Dan kualitas manusia ditentukan dalam bagaimana ia menentukan tindakan sesuai hikmat dan akal budi.
– Lingkungan. Lingkungan yang buruk PASTI membawa dampak yang buruk. Lingkungan yang baik akan menghasilkan dampak yang baik. Memang dangkal sepertinya, tapi kata “buruk” dan “baik” hanya akan menjadi “buruk” dan “baik” , apabila orang itu dapat dengan benar memilah mana yang “buruk” dan “baik”. Baik atau buruknya suatu lingkungan tidak bisa dilihat melalui mata jasmani saja . Kebanyakan orang memandang “baik” suatu lingkungan karena memang dia sendiri sudah terbiasa hidup di lingkungan tersebut sehingga menurutnya lingkungan itu adalah normal , maka tidak aneh juga apabila lingkungan yang sebenarnya buruk menjadi normal bagi orang yang sudah terbiasa dengan lingkungan tersebut. Maka perlulah “mata rohani” yang dewasa yang dipimpin oleh Roh Kudus untuk memilah mana yang “buruk” dan “baik” . Ada juga lingkungan yang terlihat sangat baik, menghasilkan banyak pujian, kesenangan, memancarkan bahwa dirinya berkelimpahan dan sebagainya, mencapai taraf lingkungan tersebut bisa dibilang sebagai suatu motivasi yang positive , tetapi motivasi yang positive hanya bisa dihasilkan melalui jiwa yang positif . Karena apabila motivasi tercipta tidak berdasarkan kapabilitas kehidupannya hanya akan membuat motivasi menjadi frustasi. Carilah lingkungan yang bisa membuat anda bersyuku, karena disaat anda bersyukur anda sedang berkelimpahan .
– Kegagalan. “Success is stumbling from failure to failure with no loss of enthusiasm” – Winston Churchill .
Tahap failure:
Kegagalan pertama adalah kegagalan yang memang manusia harus alami untuk mengerti apa artinya “memperbaiki”.
Kegagalan kedua adalah kegagalan yang terjadi untuk manusia mengerti arti “menjadi lebih baik”.
Kegagalan ketiga adalah fase dimana manusia merasakan betapa besar arti dari “don’t give up”.
Kegagalan keempat adalah waktu dimana manusia mulai berpikir dampak menyerah dan tidak menyerah.
Kegagalan yang kelima adalah waktu dimana manusia mensyukuri semangat yang ada.
Kegagalan yang keenam adalah waktu dimana manusia mengerti apa artinya “istiharat” , bukan menyerah.
Kegagalan ketujuh adalah waktu dimana mental dan fisik menjadi cukup terlatih dan lebih kuat.
Kegagalan kedelapan waktu dimana manusia menyadari mental dan fisik tidak cukup, dan menyadari pentingnya berdoa dengan pengharapan, iman, dan kasih.
Tuhan ingin kuasaNya nyata dalam kehidupan kita, dalam tahap ini sudah senormalnya manusia mengalami putus asa yang membuatnya berpikir “apabila saya ulangi , saya hanya akan membuat keputus asaan saya semakin besar” Tuhan tidak melihat seberapa banyak waktu yang kita habiskan untuk mencoba, Dia ingin manusia mengerti bahwa dalam doa, pengharapan, iman,dan kasih disitulah arti kehidupan terpancar, dan Dia melihat hati yang bertekad untuk membuktikan bahwa “sebesar apapun keputus asaan saya, Tuhan tetap ada,” karena disaat kita “habis” secara manusia, hope less (harapan berkurang secara manusiawi) , disitulah engkau akan merasakan kuasa Tuhan. Hasil yang bagus tidak ada artinya tanpa ada kuasa Tuhan di dalamnya.
“Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah DAN KEBENARANNYA , maka semuanya itu akan ditambahan kepadamu.” Matius 6:33
– Mencari Kerajaan Allah melalui doa, penyembahan, persekutuan sudah memang seharusnya menjadi gaya hidup orang yang mengikutNya , tetapi jangan berhenti pada tahap yang satu ini sebelum mencari kebenaran Firman Tuhan, kebenaran yang sesungguhnya hanya akan terpancarkan melalui perbuatan yang sesuai dengan perintahNya. Memang percaya kepada Yesus adalah keselamatan, tetapi untuk melihat bagaimana cara Tuhan bekerja dalam keselamatan , iman saja tidak cukup , iman tanpa perbuatan tidak akan menghasilkan kebenaran.
– Kurangnya hikmat dan pengetahuan . Kurangnya hal tersebut menjadikan manusia kurang bijak dan bebal terhadap nasihat. Dan hal ini akan hanya membawa manusia ke tahapan kegagalan selanjutnya. “Rencana gagal kaluu tidak ada pertimbangan , tetapi terlaksana kalau penasihat banyak.” Amsal 15:22
Jadi alangkah baiknya setelah mengerti apa saja faktor yang menyebabkan “disengagement” , kita bisa lebih mendahulukan hikmat di atas segalanya, supaya dimanapun atau apapun yang dihadapi bisa tetap menuntun kita dalam jalur yang Tuhan sudah tetapkan tanpa perlu mengulangi adanya “disengagement”.
Leave a Reply