Karawang WT – Persidangan perkara tindak pidana atas nama Prof. JW. Limbong, P.hD yang didakwa Jaksa Penuntut Umum dengan Pasal 167 KUHP telah digelar kembali di Pengadilan Negeri Karawang pada hari Jumat, 11/05/2018, dengan agenda pemeriksaan saksi Ahli yang diajukan oleh Kuasa Hukum Terdakwa, Dr. Chairul Huda, S.H., M.H., dari Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta.

“Akan menjelaskan terkait apa Sdr. Ahli yang diajukan ini?” Tanya Alfarobi, S.H., Ketua Majelis Hakim Pemeriksa perkara. “Yang Mulia, kami menghadirkan Sdr. Ahli ini merupakan ahli hukum pidana sehingga beliau akan menerangkan terkait dengan eksistensi dan penafsiran Pasal 167 KUHP serta pasal-pasal KUHP lainnya yang terkait.” Jawab Kusnadi, S.H., M.H., LL.M. selaku Kuasa Hukum Prof. JW. Limbong, P.hD. dari Kantor Hukum KUS&CO.

“Mohon jelaskan oleh Sdr. Ahli bagaimana tafsiran dari Pasal 167 KUHP?”pertanyaan awal yang diajukan Kusnadi, S.H., M.H., LL.M.. Dr. Chairul Huda, S.H., M.H. menjelaskan bahwa pada dasarnya Pasal 167 KUHP terbagi pada 2 unsur tindak pidana yakni: 1) memaksa masuk ke dalam rumah, ruangan atau pekarangan tertutup yang dipakai orang lain dengan melawan hukum, dan 2) berada di rumah, ruangan atau pekarangan tertutup dengan tanpa hak dan tidak segera pergi atas permintaan yang berhak. Yang menjadi inti dari Pasal 167 KUHP adalah terkait dengan perbuatan dan objek perbuatan itu dilakukan yakni memaksa masuk, adanya tindakan merusak atau menghancurkan benda-benda disekitarnya, misalkan merusak kunci pintu/kunci gerbang, meloncati pagar dan lain sebagainya. Namun tindakan memaksa masuk tersebut haruslah diterapkan pada objek tempat yang berupa rumah, ruangan tertutup seperti ruangan pengadilan ini, dan pekarangan tertutup. Adapun yang dimaksud dengan pekarangan tertutup adalah suatu bagian luar dari suatu rumah atau ruangan yang tertutup.

Dengan demikian, tidak bisa dikategorikan pekarangan tertutup dalam Pasal 167 KUHP seperti sebuah lahan tanah kosong yang luasnya mencapai ratusan hektar misalkan. begitupula Pasal 167 KUHP tidak bisa diterapkan untuk pihak-pihak tertentu seperti petani penggarap yang telah menguasai tanah selama puluhan tahun, karena pada dasarnya petani penggarap tersebut mempunyai hak atas penguasaan fisik tanah garapan. Sehingga untuk menentukan siapa yang berhak atas lahan tanah tersebut, maka haruslah dibawa terlebih dahulu ke ranah perdata baik pada ranah tata usaha negara maupun perdata lainnya. Sebab konteks Pasal 167 KUHP tidaklah mencantumkan “pemilik hak atas tanah” melainkan “permintaan yang berhak”. Pengertian “yang berhak” disini adalah tidak selalu diartikan sebagai “pemilik hak” saja melainkan “yang berhak” ini bisa terjadi dari adanya sewa menyewa rumah misalkan, jadi meskipun pemilik rumah tersebut masuk tanpa izin sang penyewa, maka tentu saja penyewa bisa melakukan pengusiran pada pemilik rumah tersebut.

“Begitupula, dalam hal perkara ini lebih tepatnya diarahkan pada perselisihan prayudisial atas hak lahan tanah dimaksud,” Ujar Dr. Chairul Huda.”Bagaimana pembuktian prayudisial dimaksud? Maksudnya bukti-bukti apa saja yang harus disampaikan penasehat hukum ketika ada perselisihan prayudisial? Tanya Alfarobi, S.H.. Dr. Chairul Huda menjelaskan, pembuktian adanya perselisihan prayudisial apabila sudah masuk kedalam perkara gugat-menggugat keperdataan, bisa dibuktikan dengan adanya Akta pendaftaran gugatan misalkan.

Namun yang pasti, pembuktian prayudisial tidaklah selalu terkait dengan bukti-bukti persidangan semata, selama pihak yang merasa mempunyai hak atas tanah tersebut, dan bisa dibuktikan dengan berbagai dokumen akibat adanya hak-hak yang belum diterimanya, maka hal demikian bisa juga dijadikan sebagai bukti perselisihan prayudisial.

Inti dari pemeriksaan perkara pidana adalah untuk mencari kebenaran materiil. Mencari kebenaran materiil haruslah dicari secara menyeluruh dan apakah memang ada sebuah kesalahan atau mens rea atas perbuatan yang dilakukan oleh seorang terdakwa. Ketika seseorang telah diberikan somasi untuk meninggalkan tanahnya, namun sampai saat ini seseorang tersebut masih bertahan, maka disinilah harus dicari kebenaran apa yang menjadi motif seseorang tersebut masih bertahan ditanahnya, apakah memang karena ada hak-haknya yang belum terpenuhi misalkan? Ataukah ia bertahan karena memang ia memiliki hak. Maka majelis hakim wajib mencari kebenaran tersebut, tidak semata-mata pada kebenaran formil saja. Dr. Chairul Huda menutup keterangan keahliannya dengan mengutip pernyataan Friedman, bahwa keberadaan pengadilan pidana adalah untuk mencari dan memisahkan antara orang yang bersalah dengan orang yang tidak bersalah.

Sebagai penutup, Kusnadi, S.H., M.H., LL.M., meminta agar mencatat secara spesifik bahwa berdasarkan keterangan Ahli tersebut, penerapan Pasal 167 KUHP mempunyai limitasi objek perbuatan pidananya hanya terbatas pada rumah, ruangan dan pekarangan tertutup. Sehingga fakta adanya lahan tanah kosong yang mencapai 328 Hektar tidaklah dapat dikategorikan sebagai objek perbuatan dalam rumusan Pasal 167 KUHP. Permintaan tersebut diamini Alfarobi, S.H., dengan mengingatkan panitera untuk mencatatnya.

Agenda persidangan selanjutnya akan diselenggarakan pada hari Kamis, 24 Mei 2018, pukul 10.00 wib, dengan agenda pembacaan tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum.

Komentar Facebook
https://warningtime.com/wp-content/uploads/2018/05/IMG-20180514-WA0017-1024x768.jpghttps://warningtime.com/wp-content/uploads/2018/05/IMG-20180514-WA0017-150x150.jpgadminwarningtimeIndonesiaKarawang WT - Persidangan perkara tindak pidana atas nama Prof. JW. Limbong, P.hD yang didakwa Jaksa Penuntut Umum dengan Pasal 167 KUHP telah digelar kembali di Pengadilan Negeri Karawang pada hari Jumat, 11/05/2018, dengan agenda pemeriksaan saksi Ahli yang diajukan oleh Kuasa Hukum Terdakwa, Dr. Chairul Huda, S.H., M.H.,...Mengungkap Kebenaran