Warningtime.com Jakarta – Terbukti hoaks sangat berbahaya karena menciptakan pembelahan masyarakat. Bukan hanya terjadi di Indonesia tetapi terjadi di seluruh dunia, bahkan di Amerika juga terjadi beberapa waktu lalu, lewat penyerangan ke gedung parlemen AS untuk menuntut Trump jadi presiden. Demikian disampaikan Prof. DR. Drs. Henri Subiakto, SH, MSi  yang tampil menggantikan Menkoinfo Johny Plate dalam Diskusi yang diselenggarakan Pewarna Indonesia bersama ormas Kristen.

“Hoaks menciptakan orang cerdas menjadi tidak cerdas, yang demokrasi menjadi tidak demokrasi. Indonesia sendiri potensi itu sangat besar dan bisa berbahaya kalau tidak ditangkal. Beruntung kita masih punya  UU No 1 Tahun 1946 pasal 14 yang bisa diterapkan untuk pelakunya,” ujar Staf Ahli Menkoinfo ini dalam Diskusi PEWARNA Indonesia bertajuk: Tegakkan Kedamaian dan Keadilan di Papua Tanpa Hoaks diselenggarakan Rabu (9/06/2021) di Gedung LAI, Jalan Salemba Raya, Jakarta Pusat.

Selani Prof. Subiakto, pemateri lainnya, Theo Litay dari Kepala Staf Presiden (KSP) Dorince Mahue Anggota Rumah Tangga Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Dr. Soegeng Teguh Sentoso Ketua PERADI Pergerakan. Hadir sebagai penanggap Gories Leweleba yang juga Wakil Ketua Umum Vox Point, Djaserman Purba selaku Ketua Umum MUKI, Pdt. Brigjen Purn. Harsanto Adi juga Ketua Umum API, Fredrik  J. Kunari Ketua Umum PPHKI, Dwi Pramono Wakil Ketua Umum PMKIT dan Yusuf Mujiono selaku Ketua Umum Pewarna Indonesia yang sekaligus tuan rumah. Diskusi dipandu Ashiong Munte.

Anggota MRP Papua Dorince Mahue memaparkan  bahwa kehadiran  negara di Papua melalui UU Otsus Papua.  Papua adalah tanah damai. Siapapun bisa memberitakan bohong sesuai kepentingannya, tapi masyarakat Papua tidak mau dibohongi.  Tanah Papua diberikan semua orang. UU Otsus melalui MRP bisa memproteksi kepentingan rakyat Papua. Kekuatan Papua adalah kekayaan sumber daya alam yang Tuhan berikan.

“Sayangnya Papua dirugikan, selama dua  bulan tidak mendapat internet. Dampaknya besar ke anak-anak sekolah, pelaku  usaha dll. Pertanyaannya,  apa  benar  karena kabel macet,  hanya Tuhan yang tahu. Mungkin kalau tidak begitu hoaksnya kencang. Saya mengajak semua pohak mari  sebarkan hoaks yang positif. Orang Papua sudah membuka diri. Itu yang pertama.   Kedua, Papua Tanah Injil, dan tidak membeda-bedakan orang. Bhineka Tunggal Ika itu ada di Papua.  Saya katakan bahwa orang asli Papua yang terlibat  hoaks itu orang  yang dipakai setan,” tegas perempuan yang juga Ketua Persatuan Wanita Kristen Provinsi Papua ini.

Sisi lain, Deputy Kepala Staf Presiden (KSP) Theo Litay memaparkan  statistik pengguna internet dunia yang sangat terbuka. Dari  total populasi  dunia  sekarang  sebanyak 7,7 miliar saat ini pengguna internet sebesar 4,5 miliar dan  pengguna sosial media 3,8 miliar. Ini bisa mempengaruhi secara signifikan, bisa sampai 80 persen terpengaruh. Lewat dunia maya panetrasi lebih cepat dan kuat. Di Indonesia sendiri, penggunaan internet rata-rata 7-8 jam sementara  pengguna sosial sekitar 3 jam.  Ini terjadi lintas generasi khususnya generasi muda. Ini semua rentan dengan hoaks.

“Jadi hoaks  memang informasi palsu dan sesat berbeda dengan  disinformasi  masih sesuai dengan informasi asli tapi sedikit diplintir. Memang yang dibahas seolah hanya hoaks, karena isu pornografi, perjudian itu terjadi ruang privite. Sedangkan hoaks terjadi di ruang publik. Semua itu terjadi karena literasi masyarakat rendah. Kita belum terbiasa budaya digital, akibatnya terjadi bias dalam penggunaan. Kemampuan memilah informasi rendah,” sorotnya tajam.

Dari perspektif hukum, Soegeng Teguh Santoso  menegaskan bahwa dari sisi  instrumen hukum sementara  ini sudah bisa memenuhi penegakan  hukum untuk berita bohong. Rata-rata  selama ini dikenakan pasal 14 KUHP jadi tidak masalah sama sekali.

“Yang saya  kritisi, dalam kontek negara hukum, penegakan keadilan  dikenal  Dueproces of Law. Sekarang ini proses penegakan  hukum berbanding terbalik dengan kecepatan informasi. Keputusan hukum tidak memadai sebagai bahan untuk pengambilan keputusan politik. Contoh kasus 27 orang yang dituduh perusuh kota Jayapura. Itu informasi pertama adalah perusuh kota Jayapura. Mereka  divonis karena melempar kaca.  Siapa pembakar kota yang sebenarnya  tidak pernah bisa diungkap,” tukas pengacara pembela 27 orang kemudian dibebaskan pengadilan.

Sementara para penanggap antusias memberikan tanggapan dan pandangan.  Wakil Ketua Unum Vox Point Goris Leweleba menegaskan diskusi   bicara Papua sangat menarik. Apalagi yang dibahas Perdamaian, Keadilan dan Hoaks.

“Saya kira menghilangkan hoaks tidak bisa, paling bisa memanilisir. Sebab selama ini Papua dijadikan subjek dan objek yang kental dengan kepentingan politik. Selama ini pendekatan digunakan bukan prosperity approach tetapi security approach. Untuk itu perlu pendekatan leaders local (tokoh-tokoh lokal) jika mau menyelesaikan persoalan Papua,”tandasnya.

Senada dengan itu, Pdt. Brigjen Purn. Harsanto Adi mengingatkan agar hendaknya mengutamakan informasi yang valid dari lapangan.

“Saya kira keadilan dan kedamaian tidak akan tercapai selama, pertama jika  tuntutan pelanggaran HAM tidak diselesaikan.  Kedua, ada kekosongan sejarah. Anak-anak Papua sejak dini harus diajarkan sejarahnya,” usulnya.

Ketua Umum MUKI Djasermen Purba yang hadir lewat Zoom streaming, justru menyoroti  Revisi UU ITE yang dinyatakan belum lengkap seperti disinggung Prof. Subiakto.  “Hoaks ini sangat mengerikan, karena itu perlu ada sanksi hukumnya untuk menangkalnya,” tegasnya.

Berbeda penekanan,  Ketua Umum PPHKI Fredrik J.  Kunari  mengingatkan, harus ada kebenaran dulu di Tanah Papua,  baru ada kedamaian dan keadilan.  Melongok ke belakang sejarah ditulis oleh pemenang perang.

“Dari informasi yang saya terima, pengungsi di kota Puncak Jaya sudah lebih 3.000 pengungsi. Herannya tidak ada satupun diliput media meanstream (belakangan hanya Kompas beritakan).  Apa ada unsur alasan kebetulan  atau kesengajaan,” kritiknya   mempertanyakaan sembari. Ia juga menyoal  pengubahan kata KBB ke Teroris, dengan sangat cepat setelah kasus penembakan Kabintel Papua.

Senada dengan itu, Dwi Pramono dari PMKIT juga mengkritik labeling teroris yang diputuskan pemerintah, tentu saja akan semakin menambah pelit persoalan Papua. Dwi mengusulkan perlu think thank membuat grand disign strategi komunikasi untuk melawan hoaks di Tanah Papua.

Pada kesempatan itu, Ketua Umum Pewarna Indonesia Yusuf Mujiono juga menyampaikan bahwa pemerintah perlu membuka Tanah Papua untuk peliputan wartawan sehingga mendapat berita objektif dan berimbang. Selama ini ada perbedaan informasi yang diterima dari rakyat Papua dengan yang diberitakan di ibukota.

“Kita meminta agar Kominfo juga memberi ruang dan melibatkan media-media independen, yang bukan mainstream  termasuk dalam peliputan, training dan sebagainya yang diselenggarakan Kominfo,” ujar Pemimpin Umum Majalah GAHARU ini.

Komentar Facebook
https://warningtime.com/wp-content/uploads/2021/06/20210609_172354-1024x768.jpghttps://warningtime.com/wp-content/uploads/2021/06/20210609_172354-150x150.jpgadminwarningtimeFokusIndonesiaWarningtime.com Jakarta – Terbukti hoaks sangat berbahaya karena menciptakan pembelahan masyarakat. Bukan hanya terjadi di Indonesia tetapi terjadi di seluruh dunia, bahkan di Amerika juga terjadi beberapa waktu lalu, lewat penyerangan ke gedung parlemen AS untuk menuntut Trump jadi presiden. Demikian disampaikan Prof. DR. Drs. Henri Subiakto, SH, MSi ...Mengungkap Kebenaran