Warningtime.com  Jakarta – Menanggapi kasus penerapan aturan “kewajiban” mengenakan kerudung bagi siswi-siswi non muslim di SMKN 2 Padang yang belum lama ini viral, Sugeng Teguh Santoso (STS) memandang bahwa peristiwa itu bukan lagi fenomena gunung es tapi fenomena yang sudah mengakar dan menahun. Oleh karena itu, menurut Petinggi PERADI ini, bahwa sekarang ini momen kesempatan pemerintah untuk menegakkan konstitusi.

“Saya kira ini momen penting untuk mengambil tindakan-tindakan konstitusional,” tegasnya.

STS melihat masa Presiden Jokowi ini, pemerintah punya sikap politik dalam hal ideologi yang terang benderang. Dimana pemerintah ada menegaskan sebagai negara nasional, yang terdiri dari beragam suku bangsa dan agama. Ketika mengimplemantasikannya pemerintah sudah mengambil tindakan-tindakan yang sesuai dengan konstitusi. Misalnya, membubarkan HTI kemudian melarang FPI.

“Pun saya kira dalam pengangkatan-pengangkatan menteri, presiden mengangkat menteri yang punya pandangan nasonalis. Misalnya dalam menentukan beberapa menteri penting seperti Menteri Pendidikan Nasional memilih Nadiem Makarim yang sangat berpandangan nasionalis. Juga memilih Tito Karnivian menjadi Menteri Dalam Negeri. Kemudian belakangan menetapkan Menteri Agama Yaqut Cholil yang seorang NU dan nasionalis,” papar alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini.

Lebih jauh kata STS, kalau melihat kondisi masa kini, negeri ini hanya punya waktu kurang tiga tahun lagi punya kesempatan dalam menjalankan dan menegakkan perintah konstitusi secara konsekuen. Dalam bidang pendidikan, memang pemerintah sebelumnya terkesan mengabaikan persoalan seperti ini. Meski sebetulnya sama-sama mengacu kepada konstitusi sama, tapi tidak dimplementasikan ketika ada turunannya ke bawah.
Demikian juga mengacu UU sama, misalnya UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dimana kalau di sekolah-sekolah negeri atau umum, harus menerapkan penghargaan yang setara dengan pemeluk agama berbeda. Semua harus diberi hak sama, pelajaran agama dan bebas mengekspresikan keyakinan masing-masing. Ini harus diakomodasi sebagai penghormatan HAM.

Ternyata hal seperti itu diabaikan pemerintah sebelumnya, khususnya di derah yang mengklaim Islam mayoritas dan yang dekat dengan penerapan syariah atau menerapkan keyakinan syariat seperti terjadi di Sumbar, Riau dan daerah lainnya. Hal ini selama ini diabaikan dan sekarang muncul ke permukaan.

“Kalau ini muncul dianggap sebagai fenomena gunung es, saya kira itu bukan lagi fenomena gunung es tetapi fenomena yang sudah mengakar menahun dan sangat kuat. Dan ada kecenderungan kelompak yang terdiskriminasi tidak berani berteriak perlakuan kesetaraan perbedaan agama di sekolah umum. Atau katakan tidak berani melawan karena pemerintah tidak memberikan dukungan atau katakanlah memfasilitasi sesuai aturan UU Sisdiknas dan konstitusi. Sekarang muncul dan dipandang sebagai fenomena gunung es,” tandasnya.

Menariknya, menurut STS kesempatan untuk memperbaiki keadaan ini hanya tinggal 3 tahun. “Saya yakin setelah Presiden Jokowi tidak ada lagi muncul presiden yang pandangan politik ideologis sama seperti Jokowi. Kita tahu penerintah sebelumnya masa Presiden SBY dulu memegang prinsip zero enemy.

Dengan prinsip itu dia merangkul semua orang, termasuk orang yang berseberangan ideologi negara. Buktinya, bahkan malah cenderung dibiarkan dan ironisnya difasilitiasi. Itu membuat semua terjadi seperti sekarang,” Sugeng menambahkan.

Jadi seperti yang terjadi di Sumbar, kata Ketua DPC PSI Bogor ini, harus menjadi momentum di semua daerah, untuk orang-orang yang mengalami pemberlakuan diskriminatif yang terkait dengan kepercayaan dan keyakinan beragama di daerah mereka harus berani bersuara. Karena kasus Keluarga Elianu Hia di Padang, hanya satu orang bersuara. Sementara yang lain menerima saja. Jadi harus dibangkitkan kesadaran memperjuangakan kesetaraan.

Kalau semua digugah, maka pemerintah harus mengeksekusi segera antara lain: Pertama, membatalkan semua peraturan yang diskrimintatif terkait agama. Kedua, merotasi pimpinan lembaga departemen pendidikan sampai ke daerah. Menempatkan orang yang berani melakukan perubahan itu. Ketiaga, harus menindak, mencopot atau memutasi kepala sekolah dan guru bandel sekolah negeri. Berbeda kalau di Sekolah Swasta tidak bisa dilakukan. Meski demikian sekolah swasta umum bisa dilakukan lewat boss. Kalau tidak melaksanakan UU Pendidikan Nasional maka dana BOS bisa distop dan tidak diberikan.

Kalau mereka beralasan bahwa aturan itu sesuai kultur, budaya dan kearifan daerah di sana, sebenarnya tidak juga sebab tahun-tahun 90-an dulu, di sana tidak diwajibkan menggunakan hijab. Sebenarnya baru setelah adanya penguatan puritan itu berkembang pasca reformasi.

Mengenai adanya aturan intern sekolah yang memaksa seluruh siswi menggunakan kerudung, akibat pemerintah daerah diberikah UU hak mengatur SMA dan SMP di daerahnya, STS juga menampiknya. Sebab hak mengelola itu bukan dengan software pendidikan, tapi terkait anggaran saja. Pemerintah pusat tetap berhak menetapkan kurikulum dan aturan. Memang sebenarnya dengan anggaran itu pemerintah pusat juga bisa membuat aturan satu instrumen dalam pengelolaan Dana Alokasi Umum (DAU). Artinya DAU daerah bisa ditahan, biasanya anggaran sekolah dengan mengandalkan PAD pemerintah daerah biasanya tidak cukup. Artinya pemda tidak bisa tidak patah ke pemerintah pusat.

“Saya kira PAD daerah tidak akan mampu membiayai anggaran sekolah. Artinya kalau daerah memberlakukan diskrimintif di sekolah maka bisa ditekan lewat DAU. Kemudian pusat bisa mempertanyakan mengapa memberlakukan aturan diskriminatif seperti itu. Memang hal ini terjadi karena proses politik dimana di daerah-daerah puritan itu, yang memang berbasis agama seperti kepala daerah dimenangkan partai berbasis agama. Karena itu pemerintah pusat harus “memaksa” agar kepala daerah tidak melakukan segala bentuk diskriminasi lembaga pemerintah dan sekolah-sekolah umum,” tegas mantan Sekjen PERADI RBA ini.

Terkait regulasi, pemerintah daerah walau memiliki kewenangan di sekolah tidak boleh bertentangan dengan dengan regulasi pusat. Karena itu software itu diatur dari pusat, bukan kearifan lokal. Termasuk aturan di sekolah, kalau terjadi seperti itu termasuk diskriminasi dan sudah melanggar UU Pendidikan Nasional, UU HAM dan UU lainnya, itu sudah jelas. Jadi memang perlu diadakan dialog kalau tidak bisa, harus ada instrumen yang bisa memaksa mereka taat ke pemerintah pusat.

Kembali lagi, bahwa puritanisme itu memang satu kondisi tertentu, kalau kita dalam berbangsa Indonesia Pancasila adalah suatu agenda terus menerus harus diperbaiki. Kalau ada pihak-pihak yang melakukan puritanisme di lembaga keluarga silahkan saja, tetapi kalau di lembaga publik, pemerintahan maupun sekolah tidak boleh diterapkan. Jadi memang bukan rahasia lagi, ada semacam hidden agenda, semangat syariatisasi pada wilayah-walayah tertentu.

Solusinya pemerintah bisa membuat Tim untuk mengatasi diskriminasi yang diberlakukan di sekolah negeri. “Saya kira Pemerintah Pusat bisa membentuk tim ini, di seluruh Indonesia. Dikaji dan menghimpun informasi, kemudian investigasi dan dilaporkan kemudian untuk bisa pengambilan tindakan. Hal seperti ini harus dipantau terus dan tidak boleh kendor. Jangan dikasih kendor. Media massa juga berperan penting membuat pemerintah selalu awas akan munculnya diskriminasi, karena purifikasi agama. Ini yang terpenting ke depan,” pungkas advokat senior ini.

Komentar Facebook
https://warningtime.com/wp-content/uploads/2021/02/IMG-20210205-WA0019-1024x768.jpghttps://warningtime.com/wp-content/uploads/2021/02/IMG-20210205-WA0019-150x150.jpgadminwarningtimeFokusIndonesiaWarningtime.com  Jakarta - Menanggapi kasus penerapan aturan 'kewajiban' mengenakan kerudung bagi siswi-siswi non muslim di SMKN 2 Padang yang belum lama ini viral, Sugeng Teguh Santoso (STS) memandang bahwa peristiwa itu bukan lagi fenomena gunung es tapi fenomena yang sudah mengakar dan menahun. Oleh karena itu, menurut Petinggi PERADI...Mengungkap Kebenaran