UKI, YKI, PNPS GMKI dan Lam Horas Film Kompak Nobar dan Diskusi “Film Invisible Hopes”
WT.Com, Jakarta – Pogram Pasca Sarjana UKI, YKI, Lam Horas Film dan PNPS GMKI menyelenggarakan acara nonton bareng “Film Invisible Hopes” pemenang FFI 2021 untuk kategori Film Dokumenter Panjang Terbaik, di Bioskop XXI Metropole dan kemudian dilanjutkan Diskusi di Aula Pasca Sarjana UKI, Jakarta Pusat pada Kamis (1/09/2022).
“Film Invisible Hopes” besutan Lamtiar Simorangkir mengangkat kehidupan tragis tahanan perempuan hamil dan anak-anak lahir di penjara ke layar lebar. Setting berlangsung di empat penjara perempuan, salah satu Rutan Perempan Pondok Bambu, Jakarta.
Kisah perempuan muda tomboy bernama Midun terjerat kasus narkoba, dijatuhi vonis 6 tahun dan denda satu miliar, ditinggalkan suami dan tragisnya melahirkan anak di sel hingga tantangan membesarkan anak. Sangat menarik dikisahkan di dalam film ini. Begitu juga kisah perempuan lain, seperti IFI terbelit kemiskinan tak ada biaya untuk operasi caesar.
Sutradara sekaligus Produser, Lamtiar Simorangkir mengungkapkan bahwa Lam Horas Film sebuah komunitas dan perkumpulan yang mengangkat tentang persoalan masyarakat kita ke dalam Film.
“Sebagai filmmaker, kami bertujuan menolong Ibu dan anak lahir dibesarkan di penjara,” tuturnya sebelum pemutaran film.
Membuat film ini, kata perempuan asal Pekanbaru ini, bukan untuk mencari kesalahan pihak tertentu, namun untuk memperbaiki kondisi terutama anak-anak di dalam penjara.
“Saat riset awal, di Penjara Semarang, kami menemui seorang ibu hamil dan terkesan LP (negara) tidak siap menerimanya,” beber aktivis perempuan dan ketika kuliah aktif di GMKI Cabang Pekanbaru ini.
Selama berlangsungnya produksi film ini ada 40 ibu hamil dengan 17 kelahiran anak di penjara. Diakuinya, ada ruang gerak terbatas sebab ada perjanjian dengan Ibu Kalapas dan Ibu Rutan bahwa filmnya hanya fokus untuk ibu hamil dan anak di penjara.
“Lewat film kami merasa terpanggil menolong narapidana hamil dan anak-anak dilahirkan di penjara. Ingin ada perubahan di LP-LP Indonesia,” tutur perempuan yang berharap lewat film bisa membawa perubahan di Indonesia.
Diskusi Film
Direktur Pasca Sarjana Prof. Dr. dr. Bernadetha Nadeak, M.Pd., PA dalam sambutannya sebagai pengantar diskusi mengatakan baseline untuk UKI sendiri kegiatan nonton dan berdiskusi film ini sebagai pengabdian terhadap masyarakat, sebagai salah satu perwujudan Tri Dharma Perguruan Tinggi.
“Terimakasih untuk program magister hukum UKI yang sudah mengadakan acara ini. Biar hal seperti ini diitindaklanjuti ke depan, dengan melibatkan program magister lainnya. Tentu dengan arahan Rektor dan Warektor Bidang Akademik UKI. Ini bisa ladang kajian buat dosen,” tutur Prof. Bernadetha.
Tampil sebagai pembahas dalam Diskusi yang berlangsung di Aula Pasca Sarjana Kampus UKI Diponegoro antara lain Lamtiar Simorangkir Dr. Aartje Tehupeiory, S.H.,M.H., CIQAR.,CIGNR, Pdt Sylviana Apituly dan Dr. Bernard Nainggolan.
Menurut pandangan Dr. Aartje Tehupeiory, S.H.,M.H., CIQAR.,CIGNR setelah menonton film ada tiga kebutuhan dasar perempuan yaitu kebutuhan fisik, psikis dan kebutuhan rohani.
Film ini menceritakan kisah hidup perempuan bagaimana melahirkan anak di penjara dengan segala penderitaannya.
“Kita harapkan Pak Jokowi bisa fokus untuk mengurus rakyat termasuk mendesak menambah anggaran lapas perempuan. Mohon memisahkan ibu hamil dan anak di dalam rutan,” tukas Dosen Program Pasca Sarjana UKI ini.
Ia menyinggung regulasi yang ada sudah ada di atur dalam UU No 4 1979 tentang Kesejahteraan perempuan. Kemudian UU No 17 tahun 2016 tentang Perubahan Perlindungan Anak dan UU No 32 tentang Tata Cara Warga Binaan masyarakat.
Bahkan, secara internasional ada Mandela Role. Di sana diatur perempuan punya hak akomodasi setelah melahirkan. Hak perempuan adalah hak azasi, sesuai UU 39 memiliki hak memperoleh kesejahteraan, hak pemeliharaan dan hak untuk dibimbing, baik dalam kandungan dan saat dilahirkan.
“Mari Yuk sama-sama inisiasi gerakan untuk perlindungan perempuan dan anak, ini harus terus disosialisasikan. Jangan sampai kehilangan pengasuhan dan hak hidup,” ajaknya.
Sementara Pdt. Sylviana Apituly berpendapat bahwa tidak salah kalau FFI memberikan penghargaan sebagai film dokumenter panjang terbaik. Film ini berhasil menegaskan ke publik masalah perempuan dan anak adalah puncak gunung es yang terjadi di Lapas.
“Saling mengunci karena ada faktor gender, kelas sosial dan lainnya. Dalam analasis kelompok pemerhati masalah perempuan di tahanan adalah sebuah mata rantai terkait tiga hal yaitu kemiskinan, ketergantungan dan kekerasan,” paparnya.
Dari segi pendalaman masalah perempuan ada beberapa masalah tadi ditemukan dalam film ini. Umumnya perempuan ditinggalkan suaminya dan keluarga tidak mau mengurus anak. Karena itu sangat rentan anak dilahirkan di rutan berpotensi diabaikan baik lingkungan dan keluarga.
Menurutnya, secara teologis penggambaran hidup anak di penjara bukan segambar dengan Allah, anak lahir di penjara terlihat berbeda.
Ia juga menyinggung Pasal 1 Deklarasi HAM yang menjamin setidak 30 hak anak. Seperti hak identitas, perlindungan khusus dan lainnya. Gambaran kisah Ibu Midun, IFI dan perempuan lainnya merupakan cerminan perempuan yang mendekam di penjara kita.
Ketua umum Yayasan Komunikasi Indonesia (YKI) berpandangan bahw film ini tidak biasa-biasa saja. Menonton film ini sama seperti menonton diri sendiri. Terutama kaitannya dengan pengarusutamaan gender dan perlindungan anak.
“Saya kira kita bukan lagi bicara law of book tapi law in action. Secara teoritas bagimana UKI bisa bicara gerakan hukum terkait bias gender yang kita konkritkan hari ini,” tanggapnya.
YKI bergerak dalam gerakan politik, bahwa hasil kerja Lamtiar Simorangkir tidak cukup hanya tontonan tetapi harus berbuat sesuatu terkait ibu hamil dan anak di penjara. Maka gerakan-gerakan politik akan kita lakukan di YKI.
“Hukum tidak hadir di ruang hampa, membicarakan ibu dan anak di penjara, itu bagian perjuangan. Lewat film ini kita seharusnya nonton diri sendiri,” pungkasnya.
Leave a Reply